
Di balik sebuah artikel berita tentang serangan drone, kadang-kadang yang paling menyakitkan bukan ledakan rudal, tapi suara komentar.
Kita hidup di zaman ketika peperangan tak hanya berlangsung di medan nyata, tapi juga di ruang digital — tempat orang saling menyilang pendapat, menjatuhkan kalimat, dan kadang kehilangan kemanusiaan. Perang Iran dan Israel adalah konflik yang kompleks: campuran sejarah, ideologi, agama, dan luka-luka lama yang belum sembuh. Tapi yang sering muncul di kolom komentar bukan refleksi, melainkan pembelahan.
Orang-orang menulis seperti menebas. Ada yang dengan cepat menyebut "perang suci", ada pula yang menyebut "perang politik". Di balik layar, jari-jemari menjadi senjata baru. Simpati berubah jadi slogan. Empati menguap digantikan oleh klaim kebenaran yang tak sabar mendengar yang lain.
Komentar-komentar itu seolah-olah ingin menjadi sejarah. Tapi sayangnya, sebagian hanya menjadi gema kemarahan, bukan narasi penyembuhan.
Kita bisa bertanya: mengapa kita mudah marah, bahkan pada hal yang tak langsung kita alami? Mungkin karena konflik seperti Iran-Israel menjadi medan proyeksi: tempat kita meletakkan rasa frustrasi, identitas, dan kecemasan kita sendiri.
Seorang komentator menyebut Iran sebagai “benteng terakhir Islam.” Lalu dibalas oleh yang lain: “Iran itu Syiah, bukan Islam yang sesungguhnya.” Kalimat-kalimat semacam itu bukan lagi dialog, tapi tembok. Dan kita makin terbiasa membangun tembok.
Apakah ini benar-benar tentang Iran dan Israel? Atau ini tentang bagaimana kita memaknai kebenaran dengan kaca mata yang sempit?
Perdebatan digital sering kali kehilangan dimensi manusia. Di medan nyata, seorang anak mungkin sedang kehilangan ibunya karena ledakan. Tapi di kolom komentar, kita sibuk berdebat tentang “siapa yang benar” — seolah-olah kebenaran bisa ditentukan dari jumlah likes atau retweet.
Kita jarang bertanya: apa gunanya benar jika tidak menghadirkan damai?
Mungkin inilah yang sedang hilang dalam banyak diskusi kita hari ini: rasa genting terhadap nyawa manusia. Ketika darah tertumpah, perdebatan bukan soal siapa yang menang, tapi bagaimana luka bisa dijahit — meski pelan, meski tak sempurna.
Perang Iran dan Israel bukan hanya konflik politik atau agama. Ia adalah lanskap luka yang luas: dari peristiwa 1979, Perang Hizbullah, intifada, hingga embargo dan sanksi. Tapi ia juga mengandung pelajaran tentang kegagalan kita sebagai manusia yang selalu ingin menjadi benar, tapi lupa untuk menjadi bijak.
Barangkali, sebelum kita mengomentari, kita perlu mengheningkan. Bukan untuk diam, tapi untuk menyimak. Untuk belajar bahwa tidak semua pertikaian harus diselesaikan dengan serangan balik, dan tidak semua ide lawan adalah ancaman.
Kadang, kita tak butuh senjata. Kita butuh kesediaan untuk memahami.
Dan mungkin, itulah perdamaian pertama yang bisa kita mulai — di dalam diri.