
Latar dan Asal-usul
Fez—sebuah kota tua yang masih berdetak dengan detak jantung sejarah—pernah melahirkan seorang anak yang kelak namanya menembus abad dan madrasah-madrasah. Di antara lorong-lorong medina yang sempit dan bau tinta naskah yang menguap dari ribuan manuskrip, lahirlah pada tahun 672 Hijriah (1273 M) seorang bernama Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Dawud al-Shinhaji. Namun dunia mengenalnya sebagai Ibnu Ajurrum—sebuah nama yang mengendap, sederhana, tetapi bergaung.
Nama "Ajurrum", dalam lidah Berber, bukan sekadar sebutan. Ia berarti fakir—seorang zahid yang menepi dari dunia. Sebagian mengatakan itu nisbah kepada kabilah Bani Ajurrum. Tetapi dalam makna spiritual, Ajurrum adalah keadaan batin: kerendahan hati yang menjadi kekuatan.
Perjalanan Ilmu
Ibnu Ajurrum meniti jalan ilmu dari Fez menuju Kairo—sebuah perjalanan panjang yang bukan sekadar geografis, tapi juga batiniah. Di Kairo, ia duduk di halaqah Abu Hayyan al-Andalusi, sang mahaguru nahwu yang terkenal dengan karya al-Bahr al-Muhith. Dari sana, ilmu nahwu ia pelajari bukan hanya sebagai rumus, tetapi sebagai seni membaca dunia dalam bahasa Tuhan.
Ia lalu menuju Makkah. Di depan Ka‘bah yang sunyi, ia menulis. Kitabnya bukan hanya risalah, tapi doa yang diukirkan di hadapan Kiblat. Itulah al-Muqaddimah al-Ajurrumiyyah, kitab kecil yang kini menjadi pintu gerbang bagi jutaan pelajar untuk memasuki samudra bahasa Arab.
Karya Agung
Kitab al-Ajurrumiyyah bukanlah kitab yang panjang, tetapi isinya padat—seperti bara dalam bara. Tersusun dalam prosa ringkas, ia menyentuh ruh ilmu nahwu dari akarnya. Kitab ini kemudian disyarah, dinadzamkan, diterjemahkan. Di Nusantara, kitab ini menempati posisi sakral dalam rak-rak pesantren.
Beberapa karya lain Ibnu Ajurrum antara lain:
- Farâ’id al-Ma‘ânî fi Syarḥ Ḥirzi al-Amânî
- Attabsir fi ‘Ilm at-Tafsir
- Raudh al-Manafi‘
- Kitab Qira’at Imam Nafi‘
Tetapi Ajurrumiyyah-lah yang menjadi warisan terbesarnya. Sebuah kitab kecil yang terus hidup dalam jutaan bibir santri, yang melafazkannya saban hari.
Keikhlasan yang Abadi
Ada cerita yang indah—dan mungkin mitis—tentang keikhlasan Ibnu Ajurrum. Dikatakan, setelah menulis kitabnya, ia melemparnya ke laut dengan doa: “Ya Allah, jika ini ikhlas karena-Mu, jangan biarkan naskah ini basah.” Dan naskah itu kembali ke daratan, kering. Legenda? Mungkin. Tapi dalam tradisi sufistik, makna sering lebih penting dari bukti.
Wafatnya Sang Legenda
Ibnu Ajurrum wafat di Fez, kota kelahirannya, pada hari Senin, 20 Shafar 723 H (1323 M). Ia dimakamkan di Bab al-Hamra. Tidak banyak yang mengunjunginya kini. Tapi setiap kali seorang santri membaca, “al-Kalāmu huwa al-lafẓu al-murakkabu al-mufīdu bi al-waḍ‘i”, di situlah Ibnu Ajurrum kembali hidup.
Penutup
Ibnu Ajurrum bukan hanya seorang ahli nahwu. Ia adalah penyambung ruh bahasa dengan kecermatan struktur. Ia tidak menulis untuk kekuasaan, bukan untuk popularitas. Ia menulis agar manusia bisa memahami kalimat Tuhan tanpa tersesat dalam lautan gramatika. Dan karena itu, ia akan selalu tinggal, dalam setiap nash Arab yang kita coba pahami dengan logika dan iman.