0
Home  ›  Belajar Ilmu Mantiq  ›  Chapter

Belajar Ilmu Mantiq #2 : Dari Athena Hingga Dampar Pesantren

"Sejarah ilmu Mantiq dari Yunani kuno hingga dunia Islam. Bagaimana logika disucikan oleh ulama dan menjadi “mi‘yār al-‘ulūm”, timbangan segala ilmu."

Sebelumnya, kita sudah belajar tentang kenapa mesti belajar ilmu mantiq? Dari situ, kita bisa simpulkan bahwa belajar ilmu ini, hakikatnya adalah bentuk syukur kita atas akal pemberian Allah. Karena akal tanpa ilmu akan menyesatkan, dan ilmu tanpa tertib berpikir akan menumpuk tanpa arah.

Sebelum belajar lebih lanjut, mari kita terlebih dahulu menyusuri sejarah ditemukannya disiplin ilmu ini. 

Akar Pemikiran di Yunani Kuno

Sejarah Mantiq bermula di Yunani sekitar abad ke-5 sebelum Masehi, di masa ketika filsafat baru lahir sebagai upaya manusia mencari kebenaran secara rasional. Para pemikir seperti Socrates, Plato, dan terutama Aristoteles, mulai menyusun aturan berpikir yang sistematis.

Aristoteles-lah yang pertama kali menulis logika secara utuh dalam kumpulan karya yang disebut Organon. Ia memperkenalkan sistem penalaran yang disebut silogisme, yaitu bentuk berpikir deduktif yang berangkat dari dua premis menuju satu kesimpulan logis. Konsep ini menjadi fondasi semua logika formal hingga berabad-abad lamanya.

Pada tahap ini, logika masih dianggap bagian dari filsafat — sebuah alat untuk memperdebatkan hakikat alam, manusia, dan Tuhan. Namun fungsinya sebagai alat berpikir yang netral mulai diakui. Logika tidak lagi semata-mata membicarakan isi pemikiran, tetapi cara berpikir itu sendiri: bagaimana menyusun ide agar benar dan terhindar dari kontradiksi.

Aristoteles dianggap tokoh pertama yang menulis ilmu logika. (Fatih Husni/Santrilogy)

Masa Transmisi: Dari Yunani ke Dunia Islam

Setelah peradaban Yunani runtuh dan Romawi Barat mengalami kemunduran, ilmu pengetahuan Yunani hampir punah di Eropa. Namun naskah-naskah kuno tetap terpelihara di wilayah Timur, terutama di Suriah dan Alexandria, yang kemudian menjadi jembatan bagi dunia Islam.

Pada masa Kekhalifahan Abbasiyah (sekitar abad ke-8 hingga ke-13 Masehi), muncul gerakan besar penerjemahan di Baghdad. Melalui lembaga Bayt al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan), karya-karya Yunani diterjemahkan ke bahasa Arab oleh para ilmuwan seperti Hunayn ibn Ishaq dan Tsabit ibn Qurra. Di sinilah teks-teks Aristoteles tentang logika sampai ke tangan para cendekiawan Muslim.

Namun, di dunia Islam logika tidak diterima begitu saja. Para ulama dan filosof Muslim menyaring dan menyesuaikannya dengan pandangan Islam tentang akal dan wahyu. Mereka melihat bahwa logika dapat menjadi alat penting untuk menertibkan pikiran, tanpa harus mengadopsi ajaran filsafat yang bertentangan dengan agama.

Masa Pengembangan dan Islamisasi

Mulai abad ke-9 M, logika tidak lagi sekadar ilmu asing, tetapi menjadi bagian dari sistem keilmuan Islam. Tokoh-tokoh seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina (Avicenna) berperan besar dalam mengembangkan dan menyempurnakan logika klasik.

Al-Kindi adalah pelopor yang memperkenalkan logika Aristotelian ke dalam dunia Islam. Ia melihat logika sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan yang pasti.

Al-Farabi kemudian menyusun kembali struktur ilmu logika dan menempatkannya sebagai “alat hukum akal” — sesuatu yang diperlukan semua ilmu agar tidak salah jalan.

Ibn Sina mengembangkan logika menjadi lebih komprehensif. Ia menambahkan analisis tentang konsep dan proposisi, serta menyesuaikannya dengan pendekatan ilmiah dan teologis Islam.

Melalui karya-karya para tokoh inilah logika memasuki tahap baru: dari filsafat menjadi metodologi berpikir Islam.

Integrasi ke Dalam Ilmu Agama

Setelah periode para filosof, logika mulai diterima luas oleh kalangan ulama dan teolog. Ulama seperti al-Ghazali mempelajari logika, menyederhanakannya, dan menjadikannya alat bantu dalam memahami ilmu-ilmu syar‘i seperti ushul fiqh dan kalam. Beliau menegaskan bahwa siapa pun yang ingin memahami hujjah (argumentasi) dengan benar harus terlebih dahulu mengerti dasar logika.

Sejak saat itu, Mantiq bukan lagi ilmu untuk para filosof, tetapi ilmu alat bagi para ulama. Kitab-kitab ushul fiqh, tafsir, dan kalam mulai menggunakan struktur berpikir logis: membedakan premis besar dan kecil, sebab dan akibat, umum dan khusus, dalil dan kesimpulan.

Dari sinilah muncul kitab-kitab logika Islam klasik seperti Isaghuji, Tahdzīb al-Mantiq, dan Sullam al-Munawraq — yang kemudian menjadi kurikulum resmi di madrasah dan pesantren di seluruh dunia Islam, termasuk Nusantara.

Pengaruh ke Dunia Barat

Menariknya, perkembangan logika Islam tidak berhenti di dunia Timur. Melalui Andalusia (Spanyol Islam) dan Sisilia, karya-karya para filosof Muslim diterjemahkan kembali ke bahasa Latin oleh para cendekiawan Eropa abad pertengahan.
Dari sinilah Eropa mengenal nama-nama seperti Ibn Sina dan Ibn Rushd (Averroes), yang kemudian sangat berpengaruh terhadap pemikiran skolastik Kristen, terutama Thomas Aquinas.

Logika Islam membantu membangun dasar rasionalisme Barat dan menjadi batu loncatan bagi lahirnya logika modern di abad ke-19, yang dikembangkan oleh tokoh seperti Gottlob Frege dan Bertrand Russell. Ironisnya, ilmu yang pernah dianggap “asing” di dunia Islam justru menjadi pondasi bagi kebangkitan ilmu pengetahuan di Eropa.

Mantiq di Dunia Islam dan Nusantara

Di dunia Islam sendiri, Mantiq tetap bertahan sebagai bagian dari tradisi keilmuan. Sejak abad ke-16, para ulama di Mesir, Hijaz, dan India menjadikannya pelajaran wajib di madrasah.
Dari sana, ilmu ini menyebar ke Nusantara bersama arus ulama yang menuntut ilmu ke Haramain.

Pesantren-pesantren besar di Indonesia, seperti Sidogiri, Lirboyo, dan Tebuireng, hingga kini masih mengajarkan kitab Sullam al-Munawraq sebagai pelajaran dasar bagi santri. Tujuannya bukan untuk mencetak filosof, tetapi agar santri memiliki nalar yang lurus dan adil dalam menimbang dalil, memahami teks, dan menjawab persoalan agama.

Kesimpulan

Sejarah panjang Mantiq menunjukkan bahwa ia lahir dari rahim peradaban manusia, lalu dimurnikan oleh Islam menjadi ilmu yang bermanfaat. Kalau di masa Yunani logika digunakan untuk mencari hakikat, maka dalam Islam ia dipakai untuk menjaga akal dari kesalahan dalam memahami hakikat.

Dari “alat debat” menjadi “alat berpikir”, dari “warisan Yunani” menjadi “warisan ulama.”
Itulah transformasi besar yang membuat Mantiq bukan hanya sah untuk dipelajari, tapi menjadi Mi'yar (timbangan) bagi disiplin ilmu yang lain.
Serial
Posting Komentar
Additional JS