Ruang Baca
Literatur Islam

Menghidupkan kembali kitab kuning
dalam ruang baca yang terbuka untuk semua.

Mulai Membaca
Ilustrasi Ruang Baca

Belajar Ilmu Mantiq #1 : Kenapa Mesti Belajar Ilmu Mantiq?

Beberapa waktu lalu, saya terlibat dalam diskusi panjang dengan seorang teman lama — seorang yang saya tahu rajin membaca dan cukup kritis dalam hal agama.

Percakapan itu berlangsung di ruang pesan daring, di antara waktu-waktu sibuk yang kami curi untuk sekadar berbagi pandangan.

Topik awalnya ringan: tentang apa itu iman, lalu melebar ke soal kebenaran, wahyu, dan akal.

Diskusi itu berakhir dengan satu kesimpulan: kami berdua punya cara berpikir yang berbeda.

Saya tidak merasa kalah atau menang.

Saya hanya merasa tertarik.

Karena saya sadar, kadang yang membuat orang berbeda bukan karena isi pikirannya, tapi karena cara berpikirnya.

Saya lalu bertanya kepadanya,

“Menurutmu, apa itu iman?” 

Ia menjawab dengan singkat tapi misterius,

“Orang beriman pasti tahu.”

Kadang yang membuat orang berbeda bukan isi pikirannya, tapi karena cara berpikirnya.

Sekilas terdengar benar. Tapi makin saya pikir, makin saya merasa ada yang kurang.

Apakah setiap orang yang beriman benar-benar tahu apa itu iman?

Ataukah mereka hanya merasakan iman, tanpa pernah mencoba memahaminya secara logis dan tertata?

Pertanyaan sederhana ini justru membawa saya pada satu kesadaran:

berpikir itu juga butuh aturan.

Karena tanpa aturan, pikiran bisa berputar tanpa arah, seperti kompas yang kehilangan utara.

Akal yang Tidak Dituntun Bisa Menyesatkan

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menyaksikan orang yang berbicara dengan penuh keyakinan, tetapi isi ucapannya kosong dari nalar.

Kita juga sering melihat perdebatan panjang di mana kedua belah pihak sama-sama punya semangat, tapi kehilangan logika.

Ada yang menolak suatu pendapat hanya karena “tidak suka siapa yang mengatakannya”,

ada pula yang membenarkan sesuatu hanya karena “banyak yang setuju”.

Padahal kebenaran tidak diukur dari jumlah pendukung, melainkan dari kejelasan hujjah dan tertibnya akal.

Dari sinilah saya mulai memahami mengapa para ulama besar menaruh perhatian besar pada ilmu Mantiq — ilmu yang menertibkan akal dan menuntun cara berpikir manusia.

Definisi Ilmu Mantiq Menurut Ulama

Secara bahasa, kata Mantiq (المنطق) berasal dari نُطْقٌ (nuthq) yang berarti “ucapan” atau “kemampuan berbicara”.

Namun para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud di sini bukan sekadar ucapan lisan, melainkan ungkapan akal — yaitu bagaimana seseorang menata pikiran dan menilai sesuatu dengan rasional.

Dalam Syarh Sullam al-Munawraq, al-Hazimi memberikan definisi yang sangat padat:

هو آلة قانونية تعصم مراعاتها الذهن عن الخطأ في الفكر

“Mantiq adalah instrumen hukum yang menjaga akal dari kesalahan dalam berpikir.”

Kalimat singkat ini mengandung makna yang dalam.

Kata “آلة” (alat) menunjukkan bahwa Mantiq bukan tujuan, tapi sarana.

Tujuannya bukan untuk berdebat, tapi untuk melindungi akal dari kesalahan penalaran.

Sementara Imam al-Ghazali dalam al-Mustashfa menegaskan:

 مَنْ لاَ يُحِيطُ بِعِلْمِ الْمَنْطِقِ فَلاَ ثِقَةَ لَهُ فِي عِلْمِهِ

“Barang siapa tidak memahami ilmu Mantiq, maka tidak dapat dipercaya ilmunya.”

Ungkapan ini sering disalahpahami sebagai bentuk pengagungan logika di atas wahyu.

Padahal maksud beliau bukan itu.

Imam al-Ghazali ingin menegaskan bahwa orang yang tidak memahami cara berpikir yang benar, rawan salah memahami kebenaran itu sendiri.

Mantiq Sebagai Timbangan Akal

Mantiq ibarat timbangan bagi pikiran.

Sebagaimana pedagang menimbang barang agar tidak curang, seorang pencari ilmu juga menimbang argumen agar tidak salah.

Tanpa Mantiq, seseorang bisa menganggap sesuatu “benar” hanya karena terdengar indah, atau “salah” hanya karena tidak sesuai selera.

Padahal, dalam logika yang sehat, keindahan kalimat tidak menjamin kebenaran makna.

Maka para ulama menjadikan Mantiq sebagai muqaddimah kulliyah — mukadimah bagi segala disiplin ilmu:

sebelum belajar Fiqh, Aqidah, Tafsir, bahkan Nahwu sekalipun.

Karena semuanya membutuhkan ketepatan berpikir.

Sebagian ada yang menolak Mantiq dengan alasan bahwa ia “berbau filsafat” dan dapat menyesatkan.

Padahal, yang berbahaya bukan ilmunya, tapi pemakainya.

Seperti pisau, Mantiq bisa digunakan untuk memasak atau melukai.

Mantiq bukan untuk menyaingi wahyu,

tapi untuk memastikan bahwa akal kita sampai kepada makna wahyu dengan selamat.

Mantiq dalam Kehidupan Sehari-hari

Ilmu Mantiq tidak hanya hidup di kitab-kitab kuning.

Ia hadir dalam setiap keputusan dan penilaian kita:

ketika menimbang sebuah berita di media sosial,

ketika mendengar ceramah lalu mencoba memahaminya,

ketika berdiskusi dan menilai siapa yang benar.

Tanpa sadar, banyak orang sudah memakai logika — tapi tanpa ilmu.

Itu seperti berjalan di hutan tanpa kompas: bisa saja sampai, tapi sering tersesat.

Mantiq mengajarkan kita membedakan antara:

dalil dan dugaan,

bukti dan perasaan,

kebenaran dan kebetulan.

Apa yang Didapatkan Setelah Belajar Ilmu Mantiq

Siapa yang memahami Mantiq, ia akan memiliki akal yang tertib dan hati yang tenang.

Ia tidak mudah tersulut dalam perdebatan, karena tahu mana argumen yang sahih dan mana yang hanya permainan kata.

Ia tidak mudah percaya kabar bohong, karena tahu cara memeriksa sebab dan akibat.

Ia tidak mudah terseret emosi, karena paham bahwa perasaan bukan alat ukur kebenaran.

Belajar Mantiq bukan hanya soal “logika”, tapi soal adab berpikir.

Karena berpikir pun punya etika: tidak boleh tergesa, tidak boleh fanatik, dan tidak boleh berasumsi sebelum menimbang.

Penutup

Maka, belajar Mantiq adalah bentuk syukur kita atas akal yang diberikan Allah.

Karena akal tanpa ilmu akan menyesatkan, dan ilmu tanpa tertib berpikir akan menumpuk tanpa arah.

 العقل منحة إلهية، والمنطق صيانته الشرعية.

“Akal adalah anugerah ilahi, dan Mantiq adalah penjaganya secara syar‘i.”

Jadi, sebelum kita ingin menang dalam perdebatan,

belajarlah dulu untuk berpikir dengan benar.

Karena tidak semua yang terdengar meyakinkan itu benar,

dan tidak semua yang tenang itu salah — terkadang, yang tenang itu justru yang paling logis.


Posting Komentar

Berkomentarlah dengan bijak!