Sebagaimana yang kita pelajari sebelumnya, Ilmu mantiq, atau logika dalam tradisi Islam, merupakan cabang ilmu yang mempelajari aturan-aturan berpikir yang benar untuk mencapai pemahaman (tasawwur) dan keyakinan (tashdiq) yang valid. Berasal dari warisan filsafat Yunani seperti Aristoteles, ilmu ini masuk ke dunia Islam melalui terjemahan pada masa Abbasiyah dan dikembangkan oleh para filsuf seperti Al-Farabi dan Ibn Sina.
Namun, kehadirannya memicu perdebatan sengit di kalangan ulama mengenai hukum mempelajarinya: apakah haram karena berpotensi menimbulkan syubhat (keraguan) agama, atau justru sunnah karena bermanfaat sebagai alat untuk ilmu-ilmu syar'i? Perdebatan ini mencerminkan ketegangan antara pelestarian akidah dan pemanfaatan akal rasional, dengan pendapat ulama terbagi menjadi tiga kelompok utama.
![]()  | 
| Pendapat Ulama mengenai hukum mempelajari ilmu mantiq terbagi menjadi 3 kelompok utama. (Fatih Husni/Santrilogy) | 
Pendapat yang Mengharamkan Mempelajari Ilmu Mantiq
Kelompok pertama yang mengharamkan ilmu mantiq didasarkan pada kekhawatiran bahwa ilmu ini sering tercampur dengan pemikiran filsafat Yunani yang bertentangan dengan ajaran Islam. Imam An-Nawawi (w. 676 H) dan Imam Ibn Shalah (w. 643 H) termasuk tokoh utama dalam kelompok ini. Menurut An-Nawawi, mantiq merupakan "inti dari filsafat" yang dapat menjerumuskan pelajarnya ke dalam kesesatan, seperti penolakan terhadap ilmu Allah yang terperinci, huduts (kejadian alam semesta), dan kebangkitan jasmani di akhirat. Ibn Shalah dalam Muqaddimah menyatakan bahwa mantiq berpotensi membawa kalam-kalam sesat, sehingga dilarang untuk dipelajari agar menghindari syubhat terhadap agama.
Pendapat ini juga didukung oleh Imam Syafi'i (w. 204 H), yang melalui maqolahnya menekankan bahwa ilmu mantiq menjadi sebab seseorang meninggalkan dan melupakan Al-Qur’an serta Sunnah.
مذهبي في أهل الكلام تقميع برؤوسهم بالسياط وتشريدهم من البلاد
"Madzhabku terhadap para ahli kalam adalah memukul kepala mereka dengan cambuk dan mengusir mereka dari negeri."
Meski tidak secara jelas perkataan ini sebagai bentuk penolakan terhadap Mantiq, akan tetapi menurut Imam As-Suyuthi, dalam Shaunul-Mantiq wal Kalam perkataan diatas menjadi alasan untuk mengharamkan Ilmu Kalam dan Ilmu Mantiq.
دل نصه على أن مما يعلل به تحريم النظر في علم الكلام كونه أسلوبا مخالفًا لأسلوب الكتاب والسنة، أو كونه سببًا لترك الكتاب والسنة ونسيانهما، وذلك جار في المنطق أيضًا.
Ucapannya ini menunjukkan bahwa di antara alasan pengharaman untuk mempelajari ilmu kalam adalah karena gaya dan metodenya berbeda dari gaya Al-Qur’an dan Sunnah, atau karena menjadi sebab seseorang meninggalkan dan melupakan Al-Qur’an serta Sunnah. Dan alasan yang sama juga berlaku terhadap ilmu Mantiq.
Pendapat yang Membolehkan dan Menganjurkannya
من لا يعرف المنطق لا يوثق بعلمه
"Barangsiapa tidak mengetahui ilmu mantiq, maka ilmunya tidak dapat dipercaya)."
Al-Ghazali membedakan mantiq murni sebagai "pintu masuk" ke ilmu agama, seperti fiqh dan ushul, dan mengintegrasikannya dalam Mihak al-Nazar fi Kalam 'ala al-Mantiq untuk membela akidah.
Pendapat serupa dipegang oleh Imam Taqiyuddin As-Subki (w. 756 H), yang menyebut mantiq sebagai من أحسن العلوم وأنفعها في كل بحث (salah satu ilmu terbaik dan paling bermanfaat dalam segala pembahasan). Putra beliau, Imam Tajuddin As-Subki (w. 771 H), mengurai dengan sangat rinci mengapa pendapat Imam Ibnu Shalah yang cenderung mengharamkan Mantiq itu perlu diberi catatan (lihat: Tad'im al-Mantiq, Syekh Said Faudah, Hal. 277). Beliau mengatakan,
"Apa yang disebut oleh Syaikh Abu ‘Amr Ibn Shalah tidaklah lepas dari unsur berlebihan dan sikap yang terlalu keras. Sebab, tidak ada seorang pun yang pernah mengklaim bahwa syariat ini bergantung sepenuhnya kepada ilmu Mantiq.
Paling jauh, fungsi Mantiq hanyalah menjaga pikiran dari kesalahan, dan itu pun hanya diperlukan bagi orang-orang yang akalnya sering keliru dalam menimbang. Sementara bagi orang yang memiliki akal sehat dan pemahaman tajam, kemampuan itu sudah ada sesuai kadar kecerdasannya."
Lebih lanjut, beliau menyebutkan alasan mengapa pendapat Imam Ibnu Shalah dianggap terlalu berlebihan,
"Adapun penyusunan kaidah Mantiq sebagaimana disebut oleh para ahli logika, itu adalah hal yang baru disusun agar dapat dijadikan pedoman oleh orang yang akalnya ragu ketika menghadapi perkara-perkara yang samar. Bukankah Mantiq bagi akal itu seperti ilmu Nahwu bagi lisan?
Ilmu Nahwu baru dibutuhkan dan dijadikan disiplin tersendiri ketika bahasa mulai bercampur dan rusak, demikian pula ilmu Mantiq — menurut Al-Ghazali, kebutuhan terhadapnya muncul ketika daya pikir manusia mulai tumpul dan banyak muncul syubhat (kerancuan pemikiran)."
Argumen pro menekankan bahwa mantiq membantu membedakan haq (benar) dari bathil (salah), terutama dalam debat teologis melawan aliran sesat. Ulama seperti Al-Farabi dan Ibn Sina, meskipun dikritik metafisikanya, diakui berkontribusi pada pengembangan mantiq Islami yang selaras dengan syariah. Pendapat ini didukung ijma' ulama bahwa mantiq bebas filsafat—seperti dalam kitab Mukhtasar al-Sanusi, Assyamsiyah, Isaghuji, dan Sullam al-Munawwaq karya Al-Akhdari—boleh dipelajari, bahkan fardhu kifayah jika untuk membela Islam dari syubhat.
Pendapat Tengah: Boleh dengan Syarat
وَالقَوْلَةُ المَشْهُورَةُ الصَّحِيحَةْ ... جَوَازُهُ لِكَامِلِ القَرِيحَةْ
مُمَارِسِ السُّنَّةِ وَالكِتَابِ ... لِيَهْتَدِي بِهِ إِلَى الصَّوَابِ
“Dan pendapat yang masyhur lagi shahih adalah bolehnya (mempelajari Mantiq) bagi orang yang berakal tajam dan cerdas, yang terbiasa berpegang kepada Sunnah dan Kitab (Al-Qur’an), agar dengan ilmu itu ia dapat terbimbing menuju kebenaran.”
Perbedaan corak mantiq juga menjadi kunci: mantiq Peripateticus (Aristoteles murni) dan Stoicicus (dari ahli kalam) dibedakan dari mantiq Isyari (tasawuf). Yang bercampur pemikiran Yunani sesat diharamkan, sementara mantiq Islami murni disepakati kebolehannya.
Kesimpulan
Perdebatan hukum mempelajari ilmu mantiq mencerminkan dinamika pemikiran Islam antara kehati-hatian terhadap inovasi asing dan pemanfaatan akal untuk memperkuat iman. Meskipun ada yang mengharamkannya demi menjaga kemurnian akidah, mayoritas ulama—termasuk Al-Ghazali dan As-Subki—membolehkannya sebagai sunnah atau fardhu kifayah, asal bersih dari filsafat sesat. Di era modern, di mana misinformasi merajalela, semangat mantiq tetap relevan untuk melatih berpikir kritis yang berlandaskan syariah. Sekali lagi, berlandaskan syariah.
    