Ruang Baca
Literatur Islam

Menghidupkan kembali kitab kuning
dalam ruang baca yang terbuka untuk semua.

Mulai Membaca
Ilustrasi Ruang Baca

Belajar Ilmu Mantiq #5 : Bumi Datar dan Konsep Ilmu Menurut Manāṭiqah

Konsep ilmu menurut ulama mantiq berbeda dengan yang digunakan oleh ulama ushul fiqh atau ahli bahasa.

Will Durant dalam bukunya The Story of Civilization menulis pujian yang indah tentang karya Al-Idrisi,

“Peta ini adalah karya terbesar dari seluruh nilai-nilai pemikiran geografi di Abad Pertengahan. Belum pernah ada peta yang digambar lebih sempurna sebelumnya — lebih detail, lebih luas, dan luar biasa dalam ketelitian. Al-Idrisi adalah salah satu tokoh yang menegaskan teori bahwa bumi itu bulat, dan hal ini diterima sebagai sebuah kebenaran.”

Al-Idrisi dikenal sebagai ilmuwan Muslim yang turut mempopulerkan gagasan bahwa bumi berbentuk bulat. Pandangan ini bertolak belakang dengan teori Hecataeus (550–476 SM) — yang dijuluki sebagai “Bapak Geografi Yunani” — yang menggambarkan bumi sebagai hamparan datar berbentuk lingkaran pipih, dikelilingi oleh air bergelombang di setiap sisinya.

Namun, saya tidak akan memperdebatkan apakah bumi itu bulat atau datar. Yang menarik justru bukan bentuk buminya, melainkan perbedaan cara berpikir di balik dua pandangan itu — dan bagaimana hal ini berkaitan dengan mukaddimah ilmu mantiq yang akan kita pelajari: tentang hakikat ilmu dalam pandangan ulama mantiq (manāṭiqah).

Ilustrasi bumi datar. (Emha/Santrilogy)

Muhammad Nur Al-Ibrahimi, penulis asal Indonesia, dalam bukunya Ilmu al-Mantiq, menulis sebuah kalimat menarik:

“Keyakinan sebagian orang bahwa bumi itu datar, bukan bulat, termasuk ‘ilmu yakin’ yang tidak sesuai realitas.”

Pernyataan ini terdengar paradoksal — bagaimana mungkin sesuatu yang keliru masih disebut ilmu?

Namun dalam perspektif logika, yang disebut ilmu (tahu) bukan hanya kebenaran yang sesuai kenyataan, tetapi setiap bentuk pemahaman akal terhadap makna.

Artinya, seseorang bisa saja disebut tahu tentang sesuatu yang ternyata salah secara realita, selama ia memahami dan meyakini makna itu di pikirannya.

Misalnya, ketika seseorang berkata:

“Saya tahu dan yakin semua varian Oreo berwarna hitam.”

Padahal sebenarnya ada Oreo Supreme yang berwarna merah.

Keyakinan itu, menurut manāṭiqah, tetap disebut ilmu — bukan karena benar-salahnya, tapi karena akal telah melakukan proses idrāk (penangkapan makna).

Inilah yang disebut ilmu dalam perspektif epistemologi mantiq.

Definisi Ilmu Menurut Ulama Mantiq

Para ulama berbeda pendapat: apakah ilmu bisa didefinisikan atau tidak. Pendapat yang kuat menyatakan bahwa ilmu bisa dan memang perlu didefinisikan, karena ia adalah salah satu hakikat yang dapat dijelaskan — sebagaimana halnya kita mendefinisikan hal yang umum dan khusus, atau mendefinisikan taṣawwur dan taṣdiq. Maka wajar bila ilmu, sebagai dasar dan induk dari keduanya, juga memiliki batasan makna yang jelas.

Para ahli logika (manāṭiqah) memiliki definisi tersendiri tentang ilmu yang berbeda dengan yang digunakan oleh ulama ushul atau ahli bahasa.
Menurut mereka, ilmu adalah idrāk al-ma‘ānī mutlaqan (إِدْرَاكُ المَعَانِي مُطْلَقًا) — yakni pemahaman terhadap makna secara umum. Artinya, selama akal mampu menangkap makna sesuatu, maka itu sudah disebut ‘ilm, tanpa disyaratkan harus benar atau sesuai realitas.

Ungkapan ini sama seperti yang disebutkan oleh al-Ghazzi dalam Nazhm-nya atas asy-Syamsiyyah:

العِلْمُ إِدْرَاكُ الـمَعَانِي مُطْلَقًا
وَحَصْرُهُ في طَرَفَيْنِ حُقِّقَا
سَمَّوْهُمُا التَّصْدِيقَ والتَّصَوُّرَا
فَالْأَوَّلُ اعْتِقَادُ نِسْبَةٍ تُرَى
وَغَيْـرُهُ تَـصَـوُّرٌ وَنُـوِّعَـا
إلى بَدِيْـهِـيٍّ وَكَسْبِـيٍّ مَعَـا

“Ilmu adalah penangkapan makna secara umum, dan terbagi menjadi dua:
tasdiq (keyakinan terhadap hubungan antara dua makna), dan tasawwur (pemahaman terhadap makna tunggal).
Masing-masing dari keduanya bisa bersifat badihi (langsung) atau kasbi (hasil perenungan).”

Arti Kata Idrak dan Kedudukannya

Kata idrak berasal dari akar kata adraka – yudriku – idrākan, yang berarti “mencapai” atau “sampai kepada sesuatu.” Secara istilah, idrāk berarti sampainya jiwa (nafs) kepada makna sesuatu — baik makna tunggal (mufrad) maupun makna tersusun (murakkab). Dengan demikian, idrāk sama dengan fahm (pemahaman), sedangkan ma‘nā adalah isi yang dipahami oleh akal dan disadari oleh jiwa.

Istilah nafs di sini merujuk pada daya berpikir (al-quwwah al-‘aqilah) — bagian dari diri manusia yang menjadi wadah bagi pengetahuan. Para ahli mantiq berbeda pendapat: apakah nafs sama dengan ‘aql atau berbeda? Pendapat yang kuat mengatakan: nafs adalah wadah pengetahuan, sementara ‘aql adalah alat untuk memahaminya.
Dengan kata lain, nafs menyimpan makna, dan ‘aql menyingkap makna.

Makna Mufrad dan Murakkab

Secara bahasa, makna (ma‘nā) adalah segala sesuatu yang dimaksud oleh sebuah lafaz. Dalam logika, makna dibagi menjadi dua:
  1. Makna mufrad (tunggal) — seperti makna dalam kata Zaid, langit, atau bumi.
  2. Makna murakkab (tersusun) — seperti makna dalam kalimat “Zaid berdiri” atau “langit menurunkan hujan.”
Dengan demikian, ketika ahli mantiq mendefinisikan ilmu sebagai idrāk al-ma‘ānī (pemahaman terhadap makna), maka itu mencakup dua jenis makna di atas.
  • Pemahaman terhadap makna tunggal disebut taṣawwur,
  • Sedangkan pemahaman terhadap makna tersusun disebut taṣdiq.
Sederhananya begini, 

Ketika akal anda berusaha memahami kata Zaid — dan anda menyadari bahwa “Zaid” menunjuk pada seseorang yang memiliki identitas tertentu, lalu, pemahaman ini tersimpan dalam diri anda — maka itu sudah disebut ilmu, lebih tepatnya ilmu taṣawwur, karena anda berhasil membentuk konsep tentang Zaid di dalam pikiran.

Lalu, ketika anda memahami makna kalimat “Zaid berdiri” — yaitu hubungan antara Zaid sebagai subjek dan berdiri sebagai sifatnya — maka anda telah melakukan taṣdiq, karena akal anda menilai adanya keterkaitan antara dua makna tersebut.

Penjelasan tentang klasifikasi ilmu menjadi taṣawwur dan taṣdiq akan kita bahas lebih detail pada tulisan khusus.

Cakupan Ilmu Menurut Mantiq

Para manāṭiqah memperluas makna ‘ilm sehingga mencakup segala bentuk pemahaman (idrāk), baik yang yakin maupun yang ragu, benar maupun salah.
Mereka berkata:
 فالعلم عند المناطقة شامل للظن والجهل، ويدخل فيه أيضا النسبة المشكوك فيها، والنسبة المتوَهَّمة.
فكل إدراك عند المناطقة يُسمى علما، إدراكا تصوريا كان أو تصديقيا، جازما أو غير جازم.

 “Ilmu menurut ahli mantiq mencakup dugaan (zann) dan keyakinan yang salah (jahl), termasuk pula hubungan yang diragukan (syakk) dan yang sekadar terbayang (wahm). Setiap pemahaman disebut ilmu, baik berupa tasawwur atau tasdiq, baik bersifat yakin maupun tidak.”

Kesimpulan

Maka, ilmu menurut logika adalah idrāk terhadap makna secara mutlak, yang mencakup segala bentuk kesadaran akal terhadap sesuatu — meski belum sempurna atau belum sesuai realitas.
Karena itu, “ilmu” dalam pengertian mantiqi mencakup:
  1. Yaqin (keyakinan benar),
  2. Zann (dugaan kuat),
  3. Syakk (ragu antara dua hal),
  4. Wahm (prasangka lemah).
Adapun jahl basith (ketidaktahuan total) tidak termasuk, karena ia bukan pemahaman — melainkan ketiadaan idrak sama sekali.

Sebagaimana dikatakan Muhammad Nur al-Ibrahimi:

“Keyakinan sebagian orang bahwa bumi itu datar, bukan bulat, termasuk ‘ilmu yakin yang tidak sesuai realitas.”

Maka benar — dalam kerangka logika, ilmu tidak selalu harus sesuai dengan kenyataan. Ia mencakup setiap bentuk pemahaman akal terhadap makna, baik yang benar, keliru, ragu, maupun lemah. Namun, ilmu mantiq hadir untuk menuntun semua bentuk pemahaman itu agar terarah menjadi konsep yang benar dan penilaian yang tepat.

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan bijak!