Suatu hari, ketika saya sedang mengajar ilmu mantiq di kelas, seorang santri bertanya dengan nada polos namun kritis:
“Bagaimana caranya kalau kita menerapkan ilmu mantiq ke dalam pikiran kita sendiri, Ustadz?”
Alih-alih langsung menjawab, saya justru terdiam. Bagi saya, ketika pertanyaan seperti ini muncul, berarti benih ketertarikan terhadap mantiq mulai tumbuh. Padahal, bagi sebagian besar santri, ilmu mantiq sering dianggap berat, rumit, bahkan melelahkan—karena yang dipelajari bukan sekadar hafalan, melainkan cara berpikir itu sendiri.
Dan, ya... berpikir memang melelahkan.
![]()  | 
| Belajar ilmu mantiq bagi kebanyakan santri sama seperti sedang nonton timnas vs Jepang, bikin males dan ngantuk. (Fatih Husni/Santrilogy) | 
Belajar dari Isu “Feodalisme Pesantren”
Saya lalu mencoba mengaitkan pertanyaan itu dengan isu yang sedang ramai di media sosial: Feodalisme Pesantren. Sebelum munculnya tagar #BoikotTrans7 atau tragedi robohnya musala di Ponpes Al-Khoziny, istilah “Feodalisme Pesantren” sebenarnya sudah lama beredar. Entah ini bagian dari grand design tertentu, atau sekadar tanda bahwa ideologi-ideologi kiri mulai hidup kembali di tengah masyarakat kita.
Yang jelas, sebagian kelompok memanfaatkan isu ini untuk menyerang pesantren dengan framing bahwa pesantren adalah lembaga yang feodal—menumbuhkan pengkultusan terhadap kiai dan menindas santri.
Pertanyaannya:
Benarkah demikian?Apakah tradisi ngesot, menunduk, dan takzim santri kepada kiai bisa disebut sebagai bentuk feodalisme?
Langkah Pertama: Tashawwur
Dalam ilmu mantiq, sebelum kita menilai benar-salah suatu klaim, kita harus memahami dulu konsepnya. Tahap ini disebut tashawwur, yaitu membentuk gambaran yang benar tentang suatu istilah tanpa memberi penilaian.
Untuk memahami sesuatu secara tepat, kita butuh ta‘rif (definisi). Ada dua jenis ta‘rif dalam mantiq:
- Ta‘rif Haddi (Definisi Esensial) – menjelaskan hakikat atau inti dari sesuatu.
 - Ta‘rif Rasmi (Definisi Deskriptif) – menjelaskan sesuatu melalui ciri-cirinya yang tampak.
 
Mari kita terapkan ini untuk istilah “feodalisme”.
Definisi Esensial (Ta‘rif Haddi)
Secara esensial, feodalisme adalah sistem sosial-politik yang berbasis pada pemberian tanah sebagai imbalan atas loyalitas pribadi.
Dalam logika, kita menyusun definisinya begini:
Jins (Genus umum): Sistem sosial-politik, yaitu struktur masyarakat yang mengatur kekuasaan dan ekonomi.
Fashl (Pembedaan khusus): Berbasis pada pemberian tanah (fief) sebagai imbalan loyalitas pribadi (vassalage).
Dengan begitu, feodalisme bukan sekadar masyarakat agraris atau sistem hormat-menghormati, tapi struktur hierarkis di mana tanah menjadi alat pengendali kekuasaan—seperti di Eropa Abad Pertengahan atau kerajaan-kerajaan klasik Nusantara.
Definisi Deskriptif (Ta‘rif Rasmi)
Secara deskriptif, feodalisme bisa dijelaskan sebagai:
“Sistem di mana raja membagi tanah kepada bangsawan sebagai imbalan atas kesetiaan dan pelayanan militer mereka.”
Ciri-cirinya:
- Ada pembagian tanah (fief) kepada vassal (bangsawan).
 
- Ada sumpah setia (homage) kepada penguasa.
 
- Muncul hierarki sosial antara raja, bangsawan, dan petani yang terikat pada tanah.
 
Sederhananya, raja memberi tanah ke adipati, adipati melindungi rakyat tapi mengambil hasil panen mereka.
![]()  | 
| Budaya takzim santri kepada kyai yang menjadi sorotan netizen akhir-akhir ini. (Fatih Husni/Santrilogy) | 
Lalu, Apakah Pesantren Termasuk Feodal?
Mari kita refleksikan.
Adakah dalam pesantren hubungan ekonomi dan kekuasaan seperti dalam sistem feodalisme?
Apakah ada “tanah” yang menjadi alat kendali dan “santri” sebagai bawahan yang dieksploitasi?
Jawabannya: tidak.
Hubungan antara kiai dan santri bukanlah hubungan ekonomi, melainkan hubungan moral dan spiritual. Santri menghormati kiai bukan karena takut atau tunduk pada kekuasaan, tapi karena adab dan keyakinan akan barokah ilmu.
Maka, sebelum menuduh pesantren feodal, kita perlu jujur terhadap definisinya sendiri.
Langkah Kedua: Tashdiq
Setelah memahami konsepnya (tashawwur), langkah berikutnya adalah tashdiq, yaitu menilai benar atau salah suatu pernyataan berdasarkan dalil.
Dalam logika, kita bisa menggunakan qiyas (silogisme) untuk menilai konsistensi klaim tersebut.
Coba kita bentuk demikian:
Premis Mayor: Semua sistem feodalisme melibatkan eksploitasi ekonomi dan loyalitas buta kepada kekuasaan.
Premis Minor: Pesantren tidak melibatkan eksploitasi ekonomi dan loyalitasnya bersifat spiritual.
Kesimpulan: Maka, pesantren bukan sistem feodalisme.
Logika sederhana ini saja sudah cukup menunjukkan bahwa tuduhan “feodalisme pesantren” tidak berdasar.
Menjawab Kritik tentang “Eksploitasi Santri”
Ada yang membantah:
“Tapi di pesantren, banyak santri bekerja tanpa dibayar. Bukankah itu bentuk feodalisme?”
Nah, di sinilah pentingnya berpikir logis.
Kalau hanya karena sebagian pesantren memiliki praktik semacam itu lalu semua pesantren dianggap feodal, itu termasuk qiyas istiqrā’ naqis — induksi yang tidak sempurna.
Dalam logika modern, ini disebut overgeneralization, salah satu bentuk logical fallacy (kesalahan berpikir).
Tidak bisa karena satu-dua contoh, kita langsung mengeneralisasi seluruh sistem. Sebab, konteks kerja santri di pesantren bukan eksploitasi, melainkan pengabdian sukarela dalam kerangka pendidikan karakter dan spiritualitas.
Kesimpulan
Jika ditinjau dengan ilmu mantiq, tuduhan bahwa pesantren adalah lembaga feodal jelas tidak logis.
Hubungan antara kiai dan santri tidak dibangun di atas kepemilikan tanah atau kekuasaan, melainkan atas dasar ilmu, adab, dan spiritualitas.
Feodalisme adalah sistem politik-ekonomi. Pesantren adalah sistem pendidikan dan pengasuhan jiwa.
Maka, “Feodalisme Pesantren” hanyalah istilah yang lahir dari kesalahan berpikir dan salah paham terhadap budaya takzim santri.
Dan di sinilah manfaat mempelajari ilmu mantiq: agar kita tidak mudah terjebak dalam tuduhan, framing, dan logika yang keliru.
Karena berpikir logis bukan hanya untuk menang berdebat, tapi untuk menjaga akal tetap sehat dalam menimbang kebenaran. 
~~~
Setelah saya menjelaskan panjang lebar, tiba-tiba salah satu santri mengangkat tangannya. Dengan wajah serius namun penuh rasa ingin tahu, ia bertanya,
“Tapi kan, Ustadz, ada lho oknum gus-gus viral yang sangat dihormati oleh para pengikutnya, bukan karena kapasitas keilmuannya, tapi karena ketokohannya — atau karena kesalihan leluhurnya. Berarti kalau kepada oknum seperti itu, sikap berlebihan itu bisa disebut feodalisme, kan?”
Mendengar pertanyaan itu, saya sempat tersenyum.
Dalam hati, saya merasa geli sekaligus terharu.
Yang tadinya saya kira mereka mulai tertarik dengan pelajaran mantiq, ternyata setelah penjelasan panjang-lebar itu, fokusnya malah berbelok ke tema lain. Hehe.
Tapi justru di situlah menariknya mengajar logika di pesantren — kadang arah pikir santri bisa tiba-tiba melompat ke wilayah sosial, politik, bahkan fenomena budaya yang sedang ramai.
Dan itu tandanya: mereka sudah mulai berpikir. Yuk mulai belajar mantiq! 🫡
    
