Kali ini kita akan membahas lebih jauh tentang klasifikasi ilmu pengetahuan menurut logikawan (selanjutnya saya akan menyebut ahli manṭiq dengan istilah ini).
Kajian Al-Ḥāzimī terkait pembagian pengetahuan dalam ilmu manṭiq, saya kira adalah kajian yang paling komprehensif (tanpa mengenyampingkan kajian lain yang juga mendalam). Saya akan mengurainya semudah mungkin dan sesederhana mungkin di sini.
Dalam pandangan logikawan, pengetahuan (al-‘ilm / العلم) secara umum terbagi menjadi dua jenis utama:
- التصور (at-taṣawwur) → konseptualisasi atau pemahaman terhadap makna.
 - التصديق (at-taṣdīq) → pembenaran atau penetapan hukum terhadap sesuatu.
 
Segala jenis pengetahuan manusia, dalam logika klasik, pasti masuk dalam salah satu dari dua kategori ini. Tidak ada di luar keduanya, entah akal sedang memahami makna, atau sedang menetapkan kebenaran hubungan antar-makna.
Makna Taṣawwur dan Ragam Penggunaannya
Kata taṣawwur sendiri memiliki dua cara penggunaan: kadang digunakan dalam makna umum, kadang digunakan dalam makna khusus.
a. Taṣawwur dalam Arti Umum
Secara luas, taṣawwur berarti:
“Masuknya gambaran suatu objek atau makna ke dalam akal.”
Artinya, setiap kali seseorang menangkap citra mental atau representasi dari sesuatu, ia telah melakukan taṣawwur, baik terhadap konsep tunggal maupun konsep yang tersusun.
Contoh:
Ketika kamu memikirkan kata “Zaid”, lalu terbayang siapa yang dimaksud, itu adalah taṣawwur terhadap konsep tunggal (mufrad).
Ketika kamu memikirkan kalimat “Zaid sedang berdiri”, dan paham hubungan antara “Zaid” dan “berdiri”, itu juga masih termasuk taṣawwur dalam makna umum, karena akal baru menangkap gambarannya, belum menilai benar atau salahnya.
Jadi, taṣawwur dalam arti umum mencakup dua hal:
- Pemahaman terhadap konsep tunggal (mufrad).
 - Pemahaman terhadap konsep tersusun (murakkab).
 
Kalau kita bandingkan pernyataan:
“Ilmu adalah pemahaman terhadap makna-makna secara mutlak,”
dengan
“Taṣawwur adalah terbentuknya gambaran sesuatu dalam pikiran,”
sebenarnya tidak ada perbedaan hakiki di antara keduanya. Keduanya sama-sama menunjuk pada proses kognitif: bagaimana akal menerima makna ke dalam pikirannya. baik itu makna yang sederhana maupun kompleks, intuitif maupun hasil renungan, pasti maupun dugaan.
b. Taṣawwur dalam Arti Khusus
Namun ketika taṣawwur disebut berlawanan dengan taṣdīq, maka yang dimaksud bukan lagi makna umum di atas, melainkan makna khusus.
Taṣawwur adalah pemahaman terhadap satu makna (mufrad) tanpa menetapkan hukum apa pun atasnya.
Dalam istilah modern, bisa kita sebut:
Cognitive recognition of a concept without making a judgment.
Contohnya:
Kamu memahami makna kata “Zaid”, tapi belum menilai apakah dia sedang berdiri atau duduk.
Kamu memahami kata “adil”, tapi belum menilai apakah seseorang itu adil atau tidak.
Pada tahap ini, akal hanya mengenali makna, belum menilai atau mengafirmasi apa pun. Ia baru berada di wilayah apa itu, belum menyentuh bagaimana statusnya.
Untuk lebih mudahnya, bayangkan konsep “lapar”. Definisi lapar adalah sensasi tubuh yang muncul karena kebutuhan energi. Ketika kamu memahami definisi ini, hanya memahami maknanya, itu sudah disebut taṣawwur.
Namun ketika kamu berkata:
“Lapar menyebabkan keinginan untuk makan,”
maka itu sudah masuk ke wilayah taṣdīq, karena kamu telah menetapkan hubungan kausal di antara dua hal.
Kaidah Penting
Logikawan memiliki kaidah klasik yang sangat penting:
الحكم على الشيء فرع عن تصوره
Menetapkan hukum terhadap sesuatu bergantung pada pemahaman terhadap hakikatnya.
Artinya, kamu tidak boleh menilai sesuatu sebelum memahami hakikatnya.
Kalau seseorang langsung berkata:
“Tahlilan itu bid‘ah,”
sementara ia belum paham apa yang dimaksud dengan tahlilan, maka ia telah melangkahi urutan berpikir logis: menghakimi sebelum memahami.
Dari Taṣawwur ke Taṣdīq
Setelah seseorang memahami makna suatu hal, akalnya akan melangkah ke tahap berikutnya: taṣdīq, yaitu menetapkan apakah hubungan antara dua makna itu terjadi atau tidak.
Istilah yang digunakan logikawan adalah:
إدراك وقوع النسبة أو لا وقوعها
Mengetahui terjadinya atau tidak terjadinya hubungan.
Contoh:
“Api menyebabkan panas.”
Di sini, akal tidak hanya memahami apa itu “api” dan apa itu “panas”, tetapi juga meyakini adanya hubungan sebab-akibat antara keduanya. Itulah taṣdīq.
Dua Jenis “Nisbah” (Hubungan)
Untuk memahami perbedaan taṣawwur dan taṣdīq, kita perlu mengenali dua level “nisbah” atau hubungan:
1. النسبة الكلامية (nisbah kalāmiyyah) → hubungan di dalam kalimat, seperti antara subjek dan predikat. Ini masih berada pada tataran struktur kalimat, sehingga termasuk taṣawwur.
2. النسبة الخارجية (nisbah khārijiyyah) → hubungan yang terjadi atau tidak terjadi di realitas luar. Inilah yang disebut taṣdīq, karena sudah ada penetapan kebenaran.
Singkatnya:
- Memahami makna kalimat = taṣawwur.
 - Mengetahui apakah kalimat itu benar di dunia nyata = taṣdīq.
 
Tiga Taṣawwur yang Mendahului Taṣdīq
Setiap taṣdīq selalu didahului oleh tiga taṣawwur:
1. Taṣawwur terhadap subjek (mawḍū‘).
2. Taṣawwur terhadap predikat (maḥmūl).
3. Taṣawwur terhadap hubungan kalimat (nisbah kalāmiyyah).
Baru setelah ketiganya jelas, akal bisa menetapkan apakah hubungan itu benar-benar terjadi di luar (nisbah khārijiyyah), dan di situlah taṣdīq muncul.
“Mufrad” dalam Manṭiq ≠ “Mufrad” dalam Nahwu
Dalam manṭiq, “mufrad” bukan berarti “kata tunggal” seperti dalam nahwu.
“Mufrad” di sini maksudnya adalah apa pun yang belum menjadi kalimat isbātī yang sempurna — belum memberi faidah lengkap.
Maka, frasa seperti “غلام زيد” (budak Zaid), meskipun tersusun, tetap disebut mufrad dalam manṭiq (karena belum bisa dinilai benar atau salah).
Adapun dalam nahwu, istilah “mufrad” merujuk pada bentuk kata (tunggal, jamak, dan seterusnya).
Implikasinya: Taṣdīq hanya berlaku pada murakkab isbātī yang sempurna, seperti jumlah ismiyyah atau fi‘liyyah yang informatif.
Sementara murakkab yang belum sempurna tetap masuk dalam wilayah taṣawwur.
Definisi Jangan Dicampur dengan Hukum
Logikawan menegaskan:
ومن جملة المردود إدخال الأحكام في الحدود
Termasuk hal yang ditolak adalah mencampur “hukum” ke dalam “definisi”.
Tugas definisi (ḥadd) hanyalah menjelaskan makna, bukan menilai.
Hukum datang setelahnya, bukan bersamaan dengannya.
Kaidah ini masih cabang dari prinsip yang sama: al-ḥukmu ‘ala al-shay’i far‘un ‘an taṣawwurih.
Empat Kuadran: Nazharī dan Ḍarūrī
Baik taṣawwur maupun taṣdīq masing-masing terbagi menjadi dua:
1. Nazharī (teoritis) – diperoleh melalui proses berpikir dan argumentasi.
2. Ḍarūrī (langsung) – diperoleh secara spontan, tanpa proses berpikir.
Maka terbentuklah empat jenis pengetahuan:
- Taṣawwur ḍarūrī memahami konsep “merah”, “dingin”, atau “sakit”.
 - Taṣawwur nazharī memahami konsep “qiyās”, “‘ām”, “khāṣ”.
 - Taṣdīq ḍarūrī menyadari bahwa “dua lebih besar dari satu”.
 - Taṣdīq nazharī meyakini bahwa “jika pajak naik, konsumsi turun”.
 
Penutup: Peta Kognitif Manusia
Dengan memahami pembagian ini, kita bisa membaca struktur berpikir manusia secara lebih jelas: kapan akal sedang mengenali makna, kapan ia menetapkan kebenaran, dan di titik mana ia bisa salah dalam menetapkan.
Taṣawwur mengajarkan kerendahan intelektual, bahwa memahami sesuatu secara tepat adalah langkah pertama sebelum menilainya.
Sementara taṣdīq mengajarkan ketertiban berpikir, bahwa setiap penilaian harus berdiri di atas fondasi konsep yang benar.
Maka dari itu, logikawan membangun disiplin berpikir bukan sekadar untuk tahu, tapi untuk tahu dengan benar urutannya:
Memahami dulu, baru menilai.
    