Pertanyaan
Apa batasan dalam memuliakan dan mencintai Ahlul Bait (keluarga Nabi)? Dan bagaimana jika seseorang dari Ahlul Bait dikenal memiliki bid‘ah, atau seorang raja dari kalangan mereka berbuat zalim kepada rakyatnya dan fasik — apakah tetap dimuliakan meski ada penyimpangan dalam dirinya? Bagaimana cara kita bersikap terhadapnya?
Jawaban
Ahlus Sunnah wal Jamaah senantiasa berjalan di atas prinsip mengagungkan dan mencintai Ahlul Bait, serta menempatkan mereka pada kedudukan istimewa karena hubungan mereka dengan Rasulullah ﷺ — di samping hak umum sebagai sesama muslim.
Al-‘Allamah Mulla Ali al-Qari berkata dalam Mirqat al-Mafatih:
فضل أهل البيت وذم من حاربهم أمر مجمع عليه عند علماء السنة وأكابر أئمة الأمة
“Keutamaan Ahlul Bait dan celaan terhadap siapa pun yang memerangi mereka adalah perkara yang disepakati oleh ulama Ahlus Sunnah dan para imam besar umat ini.”
(Mirqat al-Mafatih, 9/3976)
Tentang pertanyaan: “Apa batasan dalam mencintai dan memuliakan Ahlul Bait?”
Al-Munawi menjelaskan dalam Faidh al-Qadir:
محبة الآل والأصحاب دليل على كمال الإيمان والمعرفة, والمراد: حب لا يؤدي لمحذور أو منهي عنه شرعا
Cinta kepada Ahlul Bait dan para sahabat merupakan tanda kesempurnaan iman dan ma‘rifah (pengakuan hati yang benar). Yang dimaksud adalah cinta yang tidak melahirkan kemungkaran dan tidak menjerumuskan pada hal-hal yang dilarang oleh syariat.”
(Faidh al-Qadir, 1/148)
Jadi, cinta yang benar kepada Ahlul Bait bukanlah cinta yang buta, tetapi cinta yang disertai adab dan dikendalikan oleh tuntunan agama.
Adapun pertanyaan: “Bagaimana jika ada dari Ahlul Bait yang dikenal melakukan bid‘ah atau kemaksiatan — apakah tetap dimuliakan?”
Al-‘Allamah al-Ajurri dalam Asy-Syari‘ah menjawab dengan indah:
واجب على كل مؤمن ومؤمنة محبة أهل بيت رسول الله صلى الله عليه وسلم…، فمن أحسن من أولادهم وذراريهم.. فقد تخلق بأخلاق سلفه الكرام الأخيار الأبرار ، ومن تخلق منهم بما لا يحسن من الأخلاق.. دعي له بالصلاح والصيانة والسلامة ، وعاشره أهل العقل والأدب بأحسن المعاشرة، وقيل له: نحن نجلك عن أن تتخلق بأخلاق لا تشبه سلفك الكرام الأبرار , ونغار لمثلك أن يتخلق بما تعلم أن سلفك الكرام الأبرار لا يرضون بذلك , فمن محبتنا لك أن نحب لك أن تتخلق بما هو أشبه بك»
“Wajib atas setiap mukmin dan mukminah untuk mencintai keluarga Rasulullah ﷺ. Maka barang siapa di antara keturunan mereka berbuat baik, hendaklah dipuji dan dihormati karena ia meneladani akhlak para leluhur saleh. Dan barang siapa di antara mereka berbuat sesuatu yang tidak baik, hendaklah didoakan agar diberi taufik, dijaga, dan diselamatkan. Orang yang berakal dan beradab hendaknya tetap memperlakukan mereka dengan cara terbaik — sambil menasihati dengan lembut, seraya berkata:
‘Kami menghormati kedudukanmu dan berharap engkau tidak berbuat sesuatu yang tidak pantas bagi kemuliaan leluhurmu. Kami cemburu untukmu — agar engkau menjaga akhlak yang diridai oleh mereka yang telah menjadi teladanmu.’
Maka, bagian dari kecintaan kepada mereka adalah mencintai agar mereka menjadi lebih baik dan berakhlak seperti leluhur mereka yang mulia.”
(Asy-Syari‘ah, 5/2276)
Termasuk wujud cinta kepada Ahlul Bait adalah memberikan nasihat dengan lembut, agar mereka menunaikan hak keturunan Nabi dengan meneladani beliau, bukan sekadar membanggakan garis keturunan.
Imam al-Haddad — salah satu tokoh dari Ahlul Bait yang saleh — menulis dalam An-Nashaih ad-Diniyyah:
«ومنها: تزكية النفس والثناء عليها، والفخر بالآباء من أهل الدين والفضل، والتبجح بالنسب، وذلك مذموم ومستقبح جداً، وقد يبتلى به بعض أولاد الأخيار ممن لا بصيرة له ولا معرفة بحقائق الدين, ومن افتخر على الناس بنفسه وبآبائه ذهبت بركتهم عنه، لأنهم ما كانوا يغترون ولا يتكبرون على الناس، ولو فعلوا ذلك لبطل فضلهم، وقد قال عليه الصلاة والسلام : (من بطأ به عمله لم يسرع به نسبه)» 
“Di antara penyakit hati yang tercela adalah memuji diri sendiri, membanggakan keturunan, dan bermegah-megahan dengan nasab. Ini adalah perbuatan buruk dan sangat tercela. Sebab kadang sebagian anak keturunan orang-orang saleh terjerumus dalam hal ini karena kurangnya pemahaman agama. Barang siapa membanggakan diri dan leluhurnya, maka akan hilang keberkahan dari mereka, sebab para leluhur saleh itu tidak pernah sombong. Andaikata mereka bersikap demikian, tentu kemuliaan mereka akan sirna. Rasulullah ﷺ bersabda:
(Barang siapa yang amalnya lambat, tidak akan dipercepat oleh nasabnya).”
(An-Nashaih ad-Diniyyah, hlm. 363)
Dengan demikian, pelanggaran terhadap syariat tidak dapat diterima dari siapa pun, termasuk dari kalangan Ahlul Bait. Namun, husnuzan (berprasangka baik) yang dianjurkan kepada setiap muslim — lebih utama lagi diberikan kepada mereka.
Kita juga harus berhati-hati dari bentuk kebencian tersembunyi (nashb khafi), yaitu rasa senang ketika mendengar kesalahan atau dosa yang dilakukan oleh seseorang dari Ahlul Bait, atau ikut menyebarkannya agar jatuh wibawa mereka di mata kaum muslimin.
Orang yang beriman hendaknya menjauhi sikap ini sekuat tenaga. Bila mendengar kesalahan mereka, hendaklah ia bersedih, berdoa agar mereka mendapat hidayah dan kebaikan, serta berupaya membantu mereka kembali ke jalan yang benar — sesuai kemampuan yang dimiliki.
Hal itu sebagai bentuk pengamalan firman Allah Ta‘ala:
Katakanlah (wahai Muhammad): Aku tidak meminta kepadamu upah apa pun atas dakwah ini, kecuali kasih sayang kepada kerabatku.” (QS. Asy-Syura: 23).
Dan sabda Rasulullah ﷺ:
“Cintailah Ahlul Bait-ku karena cintaku kepada mereka.”
(HR. at-Tirmidzi, no. 3789)
Wallahu a‘lam bish-shawab.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang mencintai Ahlul Bait dengan cinta yang lurus — cinta yang mendorong pada kebaikan, bukan yang menjerumuskan pada fanatisme atau kemaksiatan.
Daftar Rujukan:
1️⃣ Mirqat al-Mafatih (9/3976)
2️⃣ Faidh al-Qadir (1/148)
3️⃣ Asy-Syari‘ah (5/2276)
4️⃣ An-Nashaih ad-Diniyyah (363)
5️⃣ Sunan at-Tirmidzi, no. 3789