Pertanyaan:
Apa hukum muntah bayi menurut mazhab Syafi‘i? Apakah najis? Bagaimana status pakaian dan tubuh ibu yang terkena muntah ketika menyusui — apakah wajib dicuci sebelum shalat atau dimaafkan? Bagaimana pula jika mulut bayi menjadi najis lalu langsung menyusu atau dicium oleh ibunya?
![]()  | 
| Ilustrasi bayi gumoh. Sumber: Gemini AI | 
Jawaban:
Dalam mazhab Syafi‘i, muntah (قيء) yang telah sampai ke lambung lalu keluar kembali dihukumi najis, meskipun cairan tersebut tidak berubah warna atau bau. Hal ini sebagaimana disebut dalam I‘ānatuth Thālibīn (1/95):
  النصّ (إعانة الطالبين 1/95)
  «وَقَيْءُ مَعِدَّةٍ وَإِنْ لَمْ يَتَغَيَّرَ، وَهُوَ الرَّاجِعُ بَعْدَ الْوُصُولِ لِلْمَعِدَةِ وَلَوْ مَاءً ... 
  وَأَفْتَى شَيْخُنَا أَنَّ الصَّبِيَّ إِذَا ابْتُلِيَ بِمُتَابَعَةِ الْقَيْءِ عَنْ ثَدْيِ أُمِّهِ الدَّاخِلِ فِي فِيهِ ... 
  (قَوْلُهُ: عُفِيَ) أَيْ فَلَهَا أَنْ تُصَلِّيَ بِهِ وَلَا تَغْسِلَهُ ... 
  وَنَقَلَ: أَنَّهُ لَوْ تَنَجَّسَ فَمُ الصَّبِيِّ نَحْوَ الْقَيْءِ ... عُفِيَ عَنْهُ فِيمَا يَشُقُّ الِافْتِرَاقُ عَنْهُ 
  كَالْتِقَامِ ثَدْيِ أُمِّهِ فَلَا يَجِبُ عَلَيْهَا غَسْلُهُ، وَكَتَقْبِيلِهِ فِي فَمِهِ عَلَى وَجْهِ الشَّفَقَةِ 
  مَعَ الرُّطُوبَةِ فَلَا يَلْزَمُ تَطْهِيرُ الْفَمِ.» 
“Muntah yang kembali setelah sampai ke lambung — meski berupa air — adalah najis. Syaikhuna (Guru syekh al-Bakri) memberi fatwa, bila bayi sering muntah ketika menyusu, maka hal itu dimaafkan (عُفِيَ), sehingga ibunya boleh shalat tanpa harus mencucinya. Dan apabila mulut bayi terkena najis muntah, lalu ia menyusu atau dicium (dengan kelembaban), maka tidak wajib mensucikan bagian tersebut karena termasuk hal yang sulit dipisahkan/dihindari (فيمـا يَشُقُّ الافتراقُ عنه).”
Batasan & Penjelasan
- Status muntah: Muntah yang keluar setelah sampai ke lambung hukumnya najis, berbeda dengan muntah/keluarnya cairan yang belum sampai ke lambung (misal lendir dari tenggorokan) — yang tidak najis.
 - Kaidah pemaafan (العفو): Najis dimaafkan bila ada masyaqqah (kesulitan nyata) untuk menghindarinya, seperti kasus bayi yang sering muntah berulang saat menyusu.
 - Batas pemaafan: Berlaku selama kondisinya memang sulit dihindari/berkelanjutan. Jika mudah dicuci dan tidak memberatkan, maka tetap dianjurkan (afdhal) untuk dibersihkan sebelum shalat.
 - Mulut bayi yang najis: Bila mulut bayi terkena muntah lalu langsung menyusu atau dicium ibunya, tidak wajib ibu mencuci bagian yang terkena kelembaban, karena termasuk yang sulit dihindari.
 
Implikasi Praktis
- Ibu menyusui: Pakaian yang terkena muntah bayi berulang boleh dipakai shalat saat itu juga, karena tergolong najis yang dimaafkan.
 - Ketika menyusui: Payudara yang terkena mulut bayi yang najis karena muntah tidak wajib dicuci setiap kali sebelum/selepas menyusu selama keadaan berlanjut dan sulit dihindari.
 - Ciuman kasih sayang: Mencium bayi meski mulutnya najis tidak mewajibkan penyucian langsung bila ada kesulitan nyata untuk menghindarinya.
 - Etika thaharah: Saat situasi sudah memungkinkan, membersihkan tetap lebih utama sebagai bentuk kehati-hatian.
 
Ringkasnya
- Muntah yang kembali dari lambung adalah najis.
 - Dimaafkan pada kondisi masyaqqah seperti bayi yang sering muntah saat menyusu.
 - Ibu boleh shalat meski ada bekas muntah, tidak wajib mencuci setiap kali terkena.
 - Mulut bayi najis karena muntah lalu menyusu/dicium juga dimaafkan karena sulit dihindari.
 - Di luar keadaan sulit, membersihkan tetap dianjurkan.
 
Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb.
Semoga Allah memberi kemudahan dan menjaga kesucian lahir-batin para ibu yang berjuang dengan penuh kasih sayang.
Daftar Rujukan
- إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين (I‘ānatuth Thālibīn), 1/95.
 - Fathul Mu‘īn & syarahnya — bab najāsah dan kaidah al-‘afwu ‘anhā fī al-masyaqqah.
 
    