Ruang Baca
Literatur Islam

Menghidupkan kembali kitab kuning
dalam ruang baca yang terbuka untuk semua.

Mulai Membaca
Ilustrasi Ruang Baca

Keindahan Ilmu Balaghah: Menyelami Tasybih dalam Al-Qur'an

Tasybih: ketika Al-Qur’an berbicara dengan perumpamaan yang menggugah imajinasi dan menuntun hati menuju makna.

Dalam khazanah sastra Arab, ilmu balaghah adalah lentera yang menerangi keindahan bahasa Al-Qur’an. Salah satu elemen penting dalam balaghah adalah tasybih (perumpamaan), sebuah teknik yang menghidupkan makna melalui perbandingan yang indah dan mendalam. Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur'an seperti dalam Surah Ali Imran, Al-Jumu’ah, dan Yunus, menjadi contoh sempurna bagaimana tasybih memadukan estetika dan hikmah spiritual.

Tasybih sebagai Jembatan Makna dan Imajinasi

Dalam ilmu balaghah, tasybih adalah teknik membandingkan dua hal berdasarkan kesamaan sifat (wajh al-shibh) untuk memperjelas makna dan membangkitkan imajinasi. Menurut Al-Zuhayli dalam Tafsir al-Munir (hlm. 40), tasybih di dalam Al-Qur'an terbagi menjadi dua jenis: mufrod (sederhana) dan murakkab atau tamtsil (kompleks). Tasybih mufrod mengambil satu sifat sebagai titik perbandingan, seperti dalam ungkapan “Zaid seperti singa” (Zaid disamakan dengan singa karena keberaniannya). Sementara itu, tasybih tamtsil menggambarkan perbandingan yang kompleks, di mana kesamaan diambil dari gabungan beberapa elemen, menciptakan gambaran yang lebih hidup dan berlapis.

Tasybih Mufrod: Keindahan dalam Kesederhanaan

Salah satu contoh tasybih mufrod yang menawan terdapat dalam Surah Ali Imran ayat 59: “Sesungguhnya perumpamaan (mathal) Isa di sisi Allah adalah seperti perumpamaan Adam. Allah menciptakannya dari tanah, kemudian berfirman kepadanya: ‘Jadilah,’ maka jadilah ia.” Dalam ayat ini, Allah membandingkan penciptaan Nabi Isa dengan Nabi Adam, dengan wajh al-shibh (titik kesamaan) adalah keajaiban penciptaan tanpa ayah. Menurut Al-Zuhayli (Tafsir al-Munir, hlm. 40), tasybih mufrod ini sederhana namun kuat, karena hanya berfokus pada satu aspek—proses penciptaan langsung oleh Allah—tanpa memerlukan elemen tambahan. Keindahan ayat ini terletak pada kemampuannya menyampaikan doktrin teologi (ketauhidan) dengan cara yang lugas namun penuh daya tarik imajinatif.

Dalam Surah Al-Fatihah, meskipun tasybih tidak disebut secara eksplisit, frasa shiratal mustaqim (jalan yang lurus) pada ayat 6 mengandung unsur metaforis yang mendekati tasybih. Al-Razi dalam Tafsir Mafatih al-Ghayb (jilid 1, hlm. 67) menjelaskan bahwa “jalan lurus” adalah perumpamaan untuk petunjuk Allah yang membawa kebahagiaan dunia dan akhirat. Kata mustaqim membangkitkan gambaran jalan yang jelas dan terarah, memberikan efek visual yang kuat bagi pembaca, seolah mereka sedang berjalan menuju tujuan ilahi.

Tasybih Tamtsil: Lukisan Makna yang Hidup

Berbeda dengan tasybih mufrod, tasybih tamtsil menawarkan perbandingan yang lebih kompleks, di mana wajh al-shibh diambil dari gabungan beberapa elemen. Al-Suyuti dalam Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (jilid 2, hlm. 89) mendefinisikan tasybih tamtsil sebagai perumpamaan yang tersusun dari beberapa keadaan yang membentuk satu gambaran utuh. Contohnya terdapat dalam Surah Al-Jumu’ah ayat 5: “Perumpamaan orang-orang yang dibebani Taurat, lalu mereka tidak memikulnya, adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab.”

Menurut Al-Zuhayli (Tafsir al-Munir, hlm. 40), ayat ini menggunakan tasybih tamtsil untuk menggambarkan keadaan orang-orang yang memiliki ilmu agama tetapi tidak mengamalkannya. Keledai yang membawa kitab melambangkan ketidakmampuan memanfaatkan ilmu (harman al-intifa’), sekaligus beban tanpa makna (ta’ab). Gambaran ini hidup dan penuh sindiran, karena menggabungkan elemen keledai, kitab, dan beban untuk menyampaikan kritik sosial yang tajam.

Contoh lain yang lebih kaya adalah Surah Yunus ayat 24: “Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi adalah seperti air yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah tanaman bumi dengan subur… hingga ketika bumi mengenakan perhiasannya dan menjadi indah, dan penduduknya mengira bahwa mereka berkuasa atasnya, datanglah perintah Kami pada malam atau siang hari, lalu Kami jadikan (tanaman itu) laksana tanaman yang telah dipanen, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin.” Ayat ini, sebagaimana dijelaskan Al-Zuhayli (Tafsir al-Munir, hlm. 40-41), terdiri dari sepuluh kalimat yang membentuk lukisan puitis tentang sifat sementara dunia. Setiap elemen—air hujan, tanaman, perhiasan bumi, hingga kehancuran mendadak—membangun perumpamaan yang utuh. Jika salah satu elemen hilang, keindahan dan makna tasybih ini akan berkurang. Ayat ini menggambarkan dunia sebagai sesuatu yang indah namun fana, seperti pengantin yang berhias namun segera layu.

Penutup

Tasybih dalam Al-Qur’an, dari kesederhanaan mufrod hingga kompleksitas tamtsil, adalah bukti keajaiban bahasa ilahi. Surah Al-Fatihah, dengan harmoni ritmenya, dan ayat-ayat seperti dalam Surah Ali Imran, Al-Jumu’ah, dan Yunus, menunjukkan bagaimana bahasa Arab mampu menyampaikan kebenaran dengan cara yang indah dan mendalam. Untuk para santri, mempelajari balaghah adalah undangan untuk menikmati keindahan Al-Qur’an sekaligus mendekatkan diri kepada Allah. Mari kita hayati setiap ayat sebagai lukisan kata yang tak pernah usai menginspirasi.

Referensi
  1. Al-Qur’an al-Karim, Surah Al-Fatihah: 1–7; Ali Imran: 59; Al-Jumu’ah: 5; Yunus: 24.
  2. Al-Zuhayli, Wahbah. (2009). Tafsir al-Munir. Damaskus: Dar al-Fikr, hlm. 40–41.
  3. Al-Suyuti, Jalaluddin. (2005). Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr, jilid 2, hlm. 89.
  4. Al-Razi, Fakhruddin. (1999). Tafsir Mafatih al-Ghayb. Beirut: Dar Ihya al-Turath, jilid 1, hlm. 67.
  5. Al-Qurtubi, Muhammad bin Ahmad. (2003). Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Kairo: Dar al-Hadith, jilid 1, hlm. 102.
  6. Al-Zamakhshari, Jar Allah. (2006). Al-Kashshaf ‘an Haqa’iq at-Tanzil. Beirut: Dar al-Ma’rifah, jilid 1, hlm. 23.
  7. Jurnal Studi Al-Qur’an. (2020). “Estetika Tasybih dalam Al-Qur’an: Kajian Balaghah.” Vol. 12, no. 1, hlm. 45–58.

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan bijak!