Ada saat di mana manusia modern yang serba tergesa mulai kehilangan arah di tengah kemajuan yang ia banggakan. Ia pandai menghitung jarak antara bintang, tapi sering gagal mengenali jarak antara dirinya dan Tuhannya. Di titik inilah tasawuf — jalan kehalusan batin — kembali memanggil kita untuk pulang.
Tasawuf bukan sekadar tradisi dzikir atau bentuk asketisme yang disalahpahami, tetapi disiplin ruhani yang berakar pada tazkiyah — penyucian jiwa sebagaimana diperintahkan Al-Qur’an:
“قد أفلح من زكاها” — “Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya.” (Asy-Syams: 9)
Ia adalah cabang dari pohon Islam yang akarnya tertanam dalam iman dan dahannya menjulang ke arah ihsan.
![]() |
| Tasawuf lahir dari rahim cinta dan belas kasih. (Akhsyallah/Santrilogy) |
Tasawuf: Ilmu Membersihkan Jiwa
Imam Ahmad Zarrūq, ahli fiqih dan sufi besar dari Maghrib, menulis dalam Qawā‘id at-Taṣawwuf:
“لا تصوف إلا بفقه، ولا فقه إلا بتصوف.”
“Tak ada tasawuf tanpa fiqih, dan tak ada fiqih tanpa tasawuf.”
Ungkapan ini bukan permainan kata, melainkan rumusan epistemik tentang keterpaduan lahir dan batin dalam Islam. Fiqih mengatur gerak tubuh, tasawuf menata arah hati. Jika salah satunya hilang, hilang pula keseimbangan agama.
Dalam pandangan Zarrūq, tasawuf adalah صدق التوجه إلى الله تعالى — ketulusan menghadapkan diri sepenuhnya kepada Allah. Ia bukan khayal mistik, tapi kerja sunyi di dalam dada: perjuangan mengikis ego, melatih sabar, dan menegakkan adab di hadapan Tuhan.
Dari Madinah ke Baghdad: Jejak Ruhani yang Panjang
Ibn Khaldun pernah menulis dalam Muqaddimah-nya bahwa jalan para sufi sudah dikenal sejak masa sahabat dan tabi‘in. Ia menyebut mereka “ahl al-ḥaqq wa al-hidāyah” — orang-orang yang teguh di atas kebenaran dan petunjuk.
Ketika dunia mulai mencintai gemerlapnya, muncullah mereka yang memilih kesunyian dan ibadah. Dari sinilah lahir istilah ṣūfiyyah — bukan karena wol yang mereka pakai, melainkan karena hati yang lembut seperti benang itu sendiri.
Abu al-Qāsim al-Junayd, imam para sufi, menegaskan dengan jernih:
“علمنا مضبوط بالكتاب والسنة.”
“Ilmu kami terikat dengan al-Qur’an dan Sunnah.”
Tasawuf sejati lahir bukan dari mimpi atau spekulasi, tapi dari perenungan mendalam atas wahyu dan pengalaman spiritual yang terarah.
Harmoni Ilmu dan Cinta
Bagi para ulama Maghrib, keseimbangan antara akidah Asy‘ariyah, fiqih Malikiyah, dan tasawuf Junaydiyah adalah fondasi keagamaan yang kokoh. Ibn ‘Āsyir menegaskannya dalam bait terkenalnya:
في عقد الأشعري وفقه مالك
وفي طريقة الجنيد السالك
“Dalam akidah Asy‘ari, fiqih Māliki, dan jalan Junayd sang salik.”
Inilah trilogi intelektual yang membentuk wajah Islam Maghribi: rasional dalam keyakinan, disiplin dalam hukum, lembut dalam hati. Maka tidak heran jika para ulama di dunia Islam menilai bahwa tasawuf yang murni adalah jantung dari keislaman itu sendiri — al-iḥsān yang diajarkan Nabi ﷺ kepada Jibril: “أن تعبد الله كأنك تراه، فإن لم تكن تراه فإنه يراك.”
Menyaring Debu dari Cermin
Namun, seperti segala hal suci yang melewati zaman, tasawuf pun tak lepas dari distorsi. Ada yang menjadikannya alat pelarian dari realitas, ada pula yang menungganginya untuk menebar takhayul. Tetapi menolak tasawuf karena perilaku segelintir yang menyimpang sama saja seperti menolak fiqih karena ada orang yang fasik meski hafal hukum.
Tasawuf yang benar bukan pelarian dari dunia, melainkan cara baru memandangnya — bukan meninggalkan kehidupan, tapi menghidupkannya dengan kesadaran ilahi. Ia menolak ekstremisme yang kaku, sekaligus menolak spiritualitas tanpa pijakan syariat.
Tasawuf Sebagai Keberanian Menjadi Hening
Dalam dunia yang gaduh, tasawuf mengajarkan keberanian untuk diam.
Imam Ahmad bin Ḥanbal — sosok yang oleh banyak orang dianggap simbol ketegasan fiqih — pernah berkata, “Aku menginginkan tempat di mana tidak ada seorang pun di sana.” Itu bukan keputusasaan, melainkan bentuk tertinggi dari kerinduan kepada Allah.
Karena dalam diam yang jujur, hati belajar berbicara. Dan dalam kesunyian, manusia belajar mendengar.
Penutup: Kembali ke Jalan al-Junayd
Tasawuf bukan hiasan masa lalu, tapi jalan yang selalu relevan — karena manusia selalu punya hati untuk dibersihkan.
Sebagaimana kata Junayd al-Baghdadi:
“ما أخذنا التصوف عن القيل والقال، بل عن الجوع وترك الدنيا وقطع المؤلوفات.”
“Kami tidak mengambil tasawuf dari perdebatan dan kata-kata, tapi dari lapar, menjauhi dunia, dan menundukkan hawa.”
Tasawuf sejati adalah keberanian untuk menjadi jujur kepada diri sendiri. Ia adalah perjuangan seumur hidup agar ilmu berubah menjadi cahaya, amal menjadi cinta, dan cinta menjadi penyerahan total kepada Allah.
Dan mungkin — di tengah dunia yang semakin keras, digital, dan bising ini — tasawuflah satu-satunya ruang di mana manusia masih bisa berbisik pelan:
“Ya Allah, ajarilah aku bagaimana menjadi tenang.”
