Sebab, ilmu tidak lahir dari dugaan. Ilmu hanya lahir dari ilmu pula. Tak mungkin dua sangkaan melahirkan satu kepastian. Jika itu bisa terjadi, maka hasil dari dua hal yang tidak pasti bisa menjadi sesuatu yang pasti, dan itu jelas mustahil.
Karena itu, siapa pun yang sungguh-sungguh ingin menemukan kebenaran, harus menempuh jalan ilmiah yang bersih dari prasangka, khayalan, dan bisikan intuisi tanpa dasar. Ia harus berpegang teguh pada jalur itu, tidak condong ke kanan atau ke kiri.
Ini adalah kenyataan sederhana yang tak seharusnya menimbulkan perdebatan. Namun tetap ada pertanyaan menarik: sejauh mana kesadaran ini hidup dalam dua tradisi besar — pemikiran Islam dan pemikiran Barat?
Sebagian orang mungkin tergesa-gesa menjawab dengan menunjuk istilah “penelitian objektif”, yang sering dikaitkan dengan tradisi orientalis. Tapi jika kita menilai hanya dari istilah atau reputasi yang populer, itu justru akan menyesatkan. Sebab jalan seperti itu bukanlah jalan ilmiah; ia lebih mirip jalan keramaian yang gaduh, yang tampak menuju kebenaran padahal justru menjauh darinya.
Maka, jalan yang lebih adil adalah menelusuri bagaimana kedua dunia berpikir ini — ulama Islam dan ilmuwan Barat — benar-benar menempuh metode mereka dalam mencapai kebenaran, baik yang bersifat normatif maupun historis. Dan kita mulai dari yang pertama: metode yang ditempuh dalam tradisi Islam.
Agama sebagai Pendorong Ilmiah
Sebelum membahas lebih jauh, ada satu hal yang sangat penting untuk ditegaskan: faktor utama yang menjadikan pemikiran Islam tunduk pada disiplin ilmiah yang ketat adalah agama itu sendiri.
Tanpa dasar keyakinan, barangkali umat Islam tidak akan rela menempuh jalan penelitian yang panjang, melelahkan, dan tidak selalu menghasilkan keuntungan duniawi. Namun karena dorongan iman, mereka menjalaninya dengan kesungguhan. Mereka memandangnya bukan sekadar kegiatan intelektual, melainkan tanggung jawab spiritual — bahkan ibadah.
Dorongan ini bersumber dari firman Allah:
“Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya; karena pendengaran, penglihatan, dan hati—semuanya akan dimintai pertanggungjawaban.”
(QS. Al-Isrā’: 36)
Dan juga dari ayat lain yang menegur mereka yang menempuh jalan dugaan:
“Kebanyakan dari mereka tidak mengikuti kecuali prasangka; padahal prasangka sama sekali tidak berguna untuk mencapai kebenaran.”
(QS. Yūnus: 36)
Ayat-ayat ini menunjukkan betapa Islam menolak keras keyakinan yang tidak berdasar ilmu. Bahkan untuk mempercayai agama itu sendiri, manusia dituntut untuk berpikir, menimbang, dan memastikan dengan bukti yang sahih.
Karena itulah, para ulama tauhid menetapkan bahwa syarat sahnya iman adalah keyakinan yang dibangun di atas fondasi ilmu yang pasti, bukan ikut-ikutan atau tradisi tanpa pemahaman.
Dalam pandangan Islam, kebenaran ilmiah adalah puncak kesucian intelektual. Pikiran manusia harus berputar di sekitarnya, sebagaimana para jamaah bertawaf mengelilingi Ka’bah kebenaran. Betapa indah, bahwa agama justru menegakkan dirinya di atas ilmu, bukan di luar ilmu. Ia tidak menolak bukti, melainkan menjadikannya dasar keberadaannya.
Islam memberi nilai ibadah pada proses mencari kebenaran. Bila orang non-Muslim meneliti karena dorongan ingin tahu, seorang Muslim meneliti karena keyakinan bahwa itu adalah kewajiban. Ia merasa berdosa bila meninggalkannya, dan berpahala bila menunaikannya.
Dengan demikian, pemikiran Islam menemukan dirinya memiliki tugas yang bersifat religius: mencari kebenaran, baik dalam bidang teks maupun fakta. Dan tugas ini menuntut adanya metode yang jelas dan rasional.
Namun, tentu kita tidak boleh tergesa-gesa menyimpulkan bahwa metode ilmiah Islam sepenuhnya sempurna. Tugas kita adalah menelusuri bagaimana metode itu bekerja — baru kemudian menilai kekuatannya.
Metode Penelitian Menurut Ulama Islam
Para ulama Muslim merumuskan satu prinsip besar yang menjadi dasar seluruh penelitian mereka. Prinsip itu sederhana, tapi sangat mendalam:
“Jika engkau meriwayatkan, pastikan kebenarannya; dan jika engkau mengklaim, hadirkan buktinya.”
Kaidah ini membagi seluruh wilayah penelitian menjadi dua:
- 
Berita yang diriwayatkan (naql).
 - 
Klaim atau pendapat yang diajukan (‘aql).
 
Jika yang diteliti adalah berita, maka tugas utama peneliti adalah memastikan hubungan antara berita dan sumbernya. Apakah benar ia datang dari orang atau tempat yang disebutkan? Apakah tidak ada keraguan di antara keduanya? Jika hubungan itu sahih dan maknanya pasti, maka berita tersebut dapat dianggap sebagai kebenaran ilmiah.
Namun jika yang diteliti adalah klaim atau pernyataan, maka yang diuji adalah bukti-bukti yang mendukungnya. Klaim tanpa dalil hanyalah opini, sementara dalil tanpa ketepatan hanyalah bayangan kebenaran.
Setiap jenis klaim menuntut jenis bukti yang sesuai:
- 
Klaim tentang hal-hal fisik dan empiris hanya dapat dibuktikan dengan eksperimen dan pengamatan langsung.
 - 
Klaim tentang hal-hal abstrak seperti logika, jiwa, dan angka, dibuktikan dengan dalil rasional dan hukum-hukum akal.
 - 
Sedangkan klaim tentang hak, hukum, dan urusan sosial harus dibuktikan dengan kesaksian, dokumen, dan argumentasi yang sah.
 
Dari sini muncul pertanyaan: bagaimana para ulama Islam mengembangkan cara ilmiah untuk memastikan kebenaran suatu berita? Bagaimana mereka menilai validitas klaim dan menegakkan bukti-bukti yang dapat dipercaya?
Itulah yang disebut sebagai “jalan ilmiah dalam verifikasi berita” (as-sabīl al-muttakhadzah li tahqīq al-khabar) — metode yang kelak menjadi warisan agung peradaban Islam, dari disiplin hadis hingga filsafat, dari hukum hingga sejarah.
    