Ruang Baca
Literatur Islam

Menghidupkan kembali kitab kuning
dalam ruang baca yang terbuka untuk semua.

Mulai Membaca
Ilustrasi Ruang Baca

Refleksi Hari Santri Nasional 2025: Saatnya Santri Bangkit

Hari Santri bukan hanya seremoni belaka, tapi momen untuk para santri melakukan penghayatan mendalam tentang diri mereka sendiri.

Kita hidup di zaman di mana segala sesuatu ingin disimpulkan secepat cahaya. Tragedi baru terjadi beberapa jam, komentar sudah membludak. Sebuah tayangan muncul, dan bangsa ini pun berbondong-bondong ke kolom komentar — membawa kemarahan, tapi jarang membawa pikiran.

Media sosial telah menjadikan siapa pun berhak bicara, tapi tidak semua orang siap mendengar. Maka muncullah dua wajah dari kebiasaan yang sama: wajah netizen yang gegabah menilai, dan wajah kita yang terburu-buru membalas.

Selamat Hari Santri Nasional 2025. (Emha/Santrilogy)

Ketika mushala di Pondok Al-Khoziny runtuh, linimasa penuh dengan kalimat-kalimat dingin:

“Sudah jelas, bangunannya asal-asalan.”

“Atau mungkin ini karma?”

"Dasar, feodal!"

Begitu mudah manusia mengaitkan musibah dengan kesalahan, seolah ia punya kunci untuk memahami takdir. Padahal, di balik debu dan reruntuhan itu, ada doa yang tidak pernah berhenti dipanjatkan. Ada anak-anak yang belajar ikhlas di antara abu dan luka.

Kita lupa — bahwa berita adalah potongan dari kenyataan, dan potongan tak pernah bisa menggantikan utuhnya sebuah cerita.

Kita hanya melihat mushala yang roboh, tapi tidak melihat bagaimana selama puluhan tahun pesantren itu bertahan dari kekurangan, dari hujan, dari waktu.

Yang tragis dari manusia modern bukan karena ia banyak tahu, tapi karena ia cepat sekali merasa tahu.

Tapi mari kita jujur: yang gegabah menilai bukan hanya mereka di luar pesantren.

Kadang justru kita sendiri.

Saat tayangan Trans7 menertawakan kehidupan pesantren, banyak santri turun ke kolom komentar — bukan dengan hujjah, tapi dengan caci maki.

“من لم يذق لم يدر,” tulis seseorang.

Yang lain menambah: “Kamu ngga mondok, jadi ngga tau apa-apa.”

Barangkali benar: orang yang tak pernah mencicipi kehidupan pesantren memang tak akan paham keheningan subuh di masjid, atau getirnya menahan lapar sambil menghafal.

Tapi bukankah ilmu yang kita pelajari di pesantren juga mengajarkan adab sebelum ilmu?

Lalu mengapa ketika marah, adab itu hilang?

Kita lupa bahwa di balik pesan “membela kehormatan pesantren”, ada bahaya lain yang lebih halus:

ego yang merasa paling benar hanya karena pernah mondok.

Padahal, ilmu mantiq yang sering kita pelajari mengajarkan sesuatu yang lebih sunyi: berpikir jernih sebelum berucap.

Bahwa yang harus dikalahkan pertama kali bukan orang lain, melainkan nafsu yang ingin menang sendiri.

Netizen yang gegabah menilai, dan kita yang gegabah membalas — keduanya lahir dari sumber yang sama: keinginan untuk menjadi hakim atas sesuatu yang belum mereka pahami.

Yang satu merasa lebih modern, yang lain merasa lebih suci.

Padahal keduanya sama-sama manusia, yang masih belajar membedakan antara keyakinan dan kesombongan.

Ada pepatah lama:

“Bukan karena kamu tahu, maka kamu berhak menghakimi.”

Begitu pula, bukan karena kamu mondok, maka kamu kebal dari kesalahan.

Pesantren, sejatinya, bukan tempat untuk merasa lebih tinggi dari yang lain.

Ia adalah tempat belajar menjadi rendah hati — karena setiap kali santri membaca kitab kuning, ia sebenarnya sedang membaca dirinya sendiri: betapa luasnya ilmu Allah, dan betapa kecilnya dirinya.

Di Hari Santri ini, barangkali kita tak butuh banyak seremoni.

Kita hanya perlu sejenak diam, mendengar apa yang tidak dikatakan.

Bahwa di balik duka Al-Khoziny dan bisingnya tayangan Trans7,

ada satu pesan yang sama:

jangan tergesa menilai, jangan sombong merasa tahu.

Karena mungkin, Tuhan sedang menunggu kita memahami sesuatu —

bukan dengan teriakan di komentar, tapi dengan keheningan yang membuat pikiran menjadi bening.

Barangkali benar kata orang bijak:

yang paling sulit dari menjadi manusia bukanlah berbicara benar,

melainkan diam dengan benar.

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan bijak!