Ruang Baca
Literatur Islam

Menghidupkan kembali kitab kuning
dalam ruang baca yang terbuka untuk semua.

Mulai Membaca
Ilustrasi Ruang Baca

Bebas Berekspresi Bukan Berarti Bebas Menghina (Respon terhadap konten Trans7)

Kebebasan berekspresi bukan berarti bebas menghina. Media besar seperti Trans7 seharusnya sadar tanggung jawab moralnya, bukan mempermainkan simbol pe

Apa yang dilakukan Trans7 lewat tayangannya baru-baru ini bukanlah “satire sosial” seperti yang coba dibenarkan sebagian pihak, melainkan bentuk penghinaan terang-terangan terhadap pesantren dan ulama, khususnya KH. Anwar Manshur, sosok yang dihormati Nahdlatul Ulama dan lintas generasi santri. Begitu juga ada guru kami Alm. KH. Birrul Alim PP. Tampung Gondang Wetan.

Respon kaum santri atas postingan Expose Uncersored Trans7 beragam, termasuk menaikkan tagar #BoikotTrans7. (Fatih Husni/Santrilogy)

Ketika televisi nasional berani menjadikan simbol-simbol pesantren sebagai bahan olok-olok, yang diserang bukan sekadar individu, tetapi nilai-nilai luhur yang menjadi pondasi pendidikan Islam di Indonesia: ta’dzim, adab, dan barakah ilmu.

Lucunya, mereka berbicara tentang “realita sosial”, tapi tidak paham konteks budaya pesantren. Mereka menertawakan hal yang justru menjadi ciri keilmuan dan kesopanan santri kepada gurunya. Padahal, tanpa nilai-nilai itu, tidak akan lahir para ulama yang menjaga khazanah Islam di negeri ini.

Trans7 mungkin mengira ini lelucon. Tapi bagi jutaan santri dan alumni pesantren, ini penghinaan terhadap kehormatan guru dan lembaga yang membentuk moral bangsa. Di saat dunia semakin rusak karena kehilangan adab, justru pesantren yang menjaga agar generasi tetap berakhlak.

Kebebasan berekspresi bukan berarti bebas menghina. Media besar seperti Trans7 seharusnya sadar tanggung jawab moralnya, bukan mempermainkan simbol pesantren untuk mencari sensasi.

Ada beberapa poin yang perlu diluruskan :

Pertama, sikap santri terhadap guru bukan bentuk perbudakan, melainkan adab dan ta’dzim. Sejak masa Rasulullah ﷺ, para ulama telah mencontohkan penghormatan yang mendalam terhadap guru. Seperti Ibnu Mas'ud yang berkhidmah dengan membawa sandal Nabi di saat bepergian. 

Imam Muslim dalam bentuk ta'dzimnya kepada Imam al-Bukhari berkata :

دعني حتى أقبل رجليك يا أستاذ الأستاذين وسيد المحدثين وطبيب الحديث في علله

“Biarkan aku mencium dua kakimu wahai mahaguru, pemuka ahli hadis, dan pakar dalam kajian ‘ilal hadits.”

Imam al-Kurdi dalam Tanwirul Qulub menggambarkan bagaimana cara ta'dzim murid kepada guru dengan syiir :

وكن عنده كالميت عند مُغَسَلِ * يُقلِبُهُ ما شَاءَ وَهُوَ مُطاوع

"Jadilah kamu di sisinya seperti mayit dihadapan orang yang memandikan. Mayit selalu berkenan dibolak-balik sesuai keinginan orang yang memandikan.

Inilah ta'dzim atau khidmah yang disebut sebagai perbudakan. Jikalau mau dibahasakan perbudakan, memang kita adalah budak Masyayikh. Tapi dalam bentuk cinta dan adab sebagai santri, bukan dalam bentuk kepemimpinan diktator terhadap rakyatnya. Inilah maksud dari dawuh Imam Ali bin Abi Thalib yang begitu masyhur :

أنا عبد من علمني ولو حرفا واحدا

"Aku adalah budak orang yang mengajarkanku meskipun satu huruf"

Dari sini kita memahami bahwa para Kiai adalah Sayid/Sadah. Pemimpin sekaligus panutan bagi kalangan santri. Maka pantas ketika lmam Ibnu Athaillah as-Sakandari teringat gurunya (Imam Abul Abbas al-Mursi) selalu membaca syiir :

لي سادة من عزهم # أقدامهم فوق الجباه  

إن لم أكن منهم فلي # في حبهم عز وجاه

"Kiai-kiai kami adalah orang-orang yang mulia. Telapak kaki mereka berada di atas dahi kami.

Walaupun kami bukan bagian dari orang mulia, 

Namun mencintai para kiai yang mulia adalah kemuliaan dan keluhuran".

Kedua, khidmah kepada guru adalah ibadah penting yang dilakukan oleh santri. Bahkan lebih penting dari ibadah sunah. Bahkan menurut Imam al-Kurdi, khidmah lebih utama dibandingkan dengan semua amal shaleh lainnya. Banyak contoh santri berkat ta'dzim dan khidmahnya kepada guru akhirnya diangkat menjadi wali Allah. Contoh masyhur seperti KH. Musthafa Lekok Pasuruan. Maka pantas jika banyak ulama menyampaikan :

خدمة الشيخ من أهم وسائل الولاية 

Melayani guru adalah wasilah terpenting dalam mendapatkan cinta Allah.

Ketiga, mengenai amplop yang ada dalam video. Dalam khidmah, tidak semua santri bisa melakukan. Dan tidak memungkinkan satu pondok berkhidmah kepada Masyayikh. Maka solusi yang ditempuh santri seperti ini dengan cara memberi hadiah (amplop) kepada Kiai. Mereka beranggapan, jika tubuh tidak bisa berkorban, setidaknya harta sedikit itu bisa dijadikan pengorbanan. Kiai pasti tidak akan memandang nominalnya, tapi memandang bentuk cinta santrinya yang tidak sempat berkhidmah. Bagi santri, hadiah kepada Kiai bukan hanya mengharapkan barakahnya. Tapi juga ada pahala besar yang tidak bisa didapatkan dengan bersedekah pada orang lain. Imam as-Suyuti menyampaikan :

واحدة بتسعمائة ألف وهي على عالم او فقيه 

"Sedekah pada orang alim dilipatgandakan menjadi sembilan ratus ribu pahala".

Imam az-Zarnuji dalam Ta'lim Mutaallimnya menyampaikan :

لَقَدْ حَقَّ أَنْ يُهْدَى إِلَيْهِ كَرَامَةً # لِتَعْلِيْمِ حَرْفٍ وَاحِدٍ أَلْفُ دِرْهَمِ

"Sungguh, seorang pelajar berhak memberi hadiah kepada guru sebagai bentuk memuliakannya # karena telah mengajarkan satu huruf, guru berhak diberi hadiah seribu Dirham".

Di sisi lain, para santri memberikan amplop kepada Kiainya adalah bentuk mengamalkan amalan yang dapat membenahi keturunannya kelak agar menjadi orang alim. Hal ini disebutkan oleh Imam as-Syairazi :

قال الشيخ الإمام سديد الدين الشيرازى يقول: قال مشايخنا: من أراد أن يكون ابنه عالما فينبغى أن يراعى الغرباء من الفقهاء، ويكرمهم ويعظمهم ويعطيعهم شيئا، فإن لم يكن ابنه عالما يكون حافده عالما.

Syekh Imam Sadiduddin Asy-Syirazi, pernah berkata, “Para guru kami berpesan: siapa yang ingin anaknya menjadi seorang alim, hendaklah ia memuliakan para fuqaha (ahli fikih) yang datang dari jauh, menghormati mereka, dan menaati mereka dengan penuh adab. Jika anaknya tidak menjadi alim, maka cucunya kelak akan menjadi alim.”

Perlu diketahui. Pemberian hadiah juga merupakan bagian dari ungkapan perasaan cinta. Kemana hadiahmu berlabuh, disitu cintamu berteduh. Itulah yang dialami santri. Mereka mengungkapkan rasa cinta kepada Kiainya dengan memberi sebuah hadiah. Dalam Ianatuthalibin disebutkan:

الهدية أصل المحبة

"Hadiah adalah pokok dari sebuah cinta".

Disisi lain, Kiai yang menerima hadiah bukan karena cinta pada dunia, tapi memang ada anjuran untuk menerimanya. Semua hadiah yang didasari cinta maka sangat dianjurkan untuk diterima. Imam as-Syarwani dalam Hawasyinya menyebutkan :

 وإن أهدي إليهم تحببا وتودداً لعلمهم وصلاحهم فالأولى القبول (حواشي الشرواني)

Memang ketika masih santri, kita seperti orang rendahan. Lantas apa salahnya memberikan amplop jika itu berdasarkan cinta bukan keterpaksaan? 

Itulah perjalanan seorang santri. Ia mengenakan adab ta'dzim yang kelak akan membuat seorang santri menjadi mulia. Ibnu Abbas berkata :

ذللت طالبا فعززت مطلوبا

Keempat, menyerang Lirboyo bukan hanya melukai satu pesantren. Itu adalah serangan terhadap seluruh dunia pesantren, tercakup nilai, adab, dan warisan keilmuan yang menjadi pondasi moral bangsa ini. Menyakiti Lirboyo, sama saja menyakiti semua pesantren.

Menghina kiai, berarti menghina ilmu dan adab yang menjaga negeri ini.

Penutup

Adab santri terhadap kiai tidak lahir dari paksaan, tapi dari kesadaran spiritual bahwa ridha guru adalah jalan menuju ridha Allah. 

Jadi, ketika santri hormat, tunduk, bahkan rela mengabdi itu bukan penjajahan batin seperti yang diframingkan, melainkan pendidikan akhlak yang tidak dimiliki sekolah sekuler modern.

Pesantren tidak butuh pembelaan dari orang yang menilai dengan kacamata barat dan logika media. Pesantren telah melahirkan ulama, pejuang, dan negarawan, sementara media semacam ini hanya melahirkan kebencian dan kesalahpahaman terhadap lembaga yang telah menjaga akidah umat selama ratusan tahun.

Semoga kita semua selamat dari fitnah ini. Amiiin 🤲

1 komentar

  1. Kher ustadzi
Berkomentarlah dengan bijak!